BrandinG

23 04 2009

Emotional-Branding Menuju Brand Religion :
Sebuah Bahan Bakar Strategi Bersaing Pada Level
Manajemen Brand Dalam Arena Globalisasi Ekonomi

Oleh :
Rizal A.Hidayat
Marketing And PR Department – UIEU
Andrial_Rizal@yahoo.Com
http://www.fliseorivera.wordpress.com

Abstrak :
Hipertensi arena persaingan dunia bisnis dewasa ini dilukiskan oleh para ekonom globalis sebagai momen pencerahan untuk mengusung spirit Emotional-Branding, yaitu sebagai pilihan utama bahan bakar strategi bersaing yang sudah ditetapkan oleh perusahaan sebelumnya. Efek terpentingnya adalah ketika strategi bersaing berbahan bakar Emotional-Branding ini mulai mengisi masing-masing tahap manajemen kampanye brand, maka the highest destination of branding target itu sendiri sangat jelas, yaitu mencapai fase Brand Religion, sebagai manifestasi diferensiasi keunggulan kompetitif dari positioning produk yang bersangkutan di dalam setiap benak konsumen pelanggannya. Eksistensi fenomena Emotional-Branding inilah yang menjadi point of view kajian tulisan berikut.

Kata Kunci :
Emotional-Branding, Brand Campaign, Cost Leadeship Strategy, Differentiation Strategy, Focus Strategy, Functional Brand, Image Brand, Experiental Brand, Brand Loyalty, Brand Religion

Pendahuluan
Tidak ada kesepakatan secara utuh diantara para pakar maupun masyarakat awam mengenai definisi komprehensif tentang globalisasi. Masing-masing berusaha menganalisis berdasarkan kualitas wacana keilmuannya. Berdasarkan tentang pendeskripsian fenomena tertentu yang akan mereka analisa. Masing-masing berdiri sendiri dengan menafikan komponen-komponen lainnya. Tergantung dari sudut pandang mana globalisasi itu dipelajari sebagai sebuah keyakinan inti akan makna keberadaannya pada setiap aspek kehidupan manusia. Keberadaan globalisasi sebagai sebuah invisible entitas sangat besar pengaruhnya, dan melebihi pengaruh entitas-entitas lain seperti Negara dan organisasi bisnis maupun non bisnis. Bahkan mereka berusaha saling beradaptasi, dan pada fase kehidupan berikutnya, menjadi bagian inheren dalam pola permainan yang disuguhkan globalisasi dengan satu kepatuhan mutlak rule of game, yaitu dependensi yang ter-interkorelasi dalam sebuah komunitas bersama.
Meskipun demikian, setidaknya terdapat tiga kelompok ilmuwan dalam memandang globalisasi sebagai sebuah virus yang menguntungkan dan merugikan (Winarno, 2007). Pertama, kelompok pendukung hiperglobalis. Pada prinsipnya para pendukung hiperglobalis lebih melihat wujud globalisasi hidup dalam serangkaian kegiatan ekonomi. Globalisasi ekonomi akan membawa serta gejala denasionalisasi ekonomi melalui pembentukan jaringan-jaringan produksi transnasional (transnational networks of production), perdagangan dan keuangan. Dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (economics borderless), pemerintah nasional tidak lebih dari sekedar transmission belts bagi kapital global, atau secara lebih singkat sebagai institusi perantara yang menyusup di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta mekanisme pengaturan global. Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa globalisasi ekonomi tengah membangun bentuk-bentuk baru organisasi sosial yang tengah menggantikan atau yang akhirnya akan menggantikan Negara-bangsa sebagai lembaga utama ekonomi dan unit politik masyarakat dunia. Kedua, Kelompok skeptis. Tesis utama kelompok ini adalah globalisasi bukanlah merupakan fenomena yang sama sekali baru, tetapi mempunyai akar sejarah yang panjang. Bagi sebagian besar kaum skeptis, ekonomi dewasa ini lebih didominasi “regionalisasi” karena ekonomi dunia yang dianggap mengglobal oleh kaum hiperglobalis hanya melibatkan ketiga blok perdagangan dan keuangan, yakni Eropa, Asia-Pasifik, dan Amerika Utara. Yang paling kontradiksi dari tesis kaum skeptis adalah bahwa pertumbuhan ekonomi akan memarginalkan Negara-negara dunia ketiga karena perdagangan dan investasi hanya mengalir di kalangan negara-negara industri maju dan kaya. Ketiga, Kelompok Pendukung Transformasionalis. Inti pandangan kelompok ini adalah adanya keyakinan bahwa pada permulaan milenium baru, globalisasi adalah kekuatan utama di balik perubahan-perubahan social, ekonomi dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat modern dan tatanan dunia (world order). Mereka menyatakan bahwa proses globalisasi yang tengah berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya, dimana tidak ada lagi perbedaan antara internasional dan domestic, karena hubungan-hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas. Salah satu pandangan penting dari kaum transformasionalis adalah negara tidak lagi dapat bersembunyi di balik klaim kedaulatan nasional. Sebaliknya, kekuasaan negara bangsa sekarang ini dalam mengambil keputusan harus disejajarkan dengan lembaga-lembaga governance global dan dari sudut pandang hukum internasional. Dalam kondisi seperti ini, negara bangsa yang mengelola dirinya sendiri dan sebagai unit yang otonom lebih merupakan klaim normative dibandingkan dengan suatu pernyataan deskriptif.
Dari eksplanasi singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa baik pandangan kaum hiperglobalis, skeptis maupun transformasionalis memiliki satu benang merah kesimpulan bahwa kekuatan globalisasi ekonomi sebenarnya telah melampaui apa yang dahulu dianggap sebagai kemustahilan the market openness relationship karena di-demarkasi oleh perbedaan fundamental seperangkat regulasi perdagangan dan ekonomi masing-masing negara. Kini tembok pembatas hubungan tersebut telah dihancurkan oleh serangkaian proses sejarah semenjak tembok Berlin runtuh disusul dengan bubarnya Uni Sovyet yang menandai berakhirnya peranan total negara dalam sistem ekonomi tertutup atau ekonomi komando.
Efek terpenting yang menjadi pencerminan Globalisasi Ekonomi adalah hegemoni logika pasar. Globalisasi ekonomi mencerminkan logika pasar untuk berproduksi secara efektif dan efisien bagi mereka yang memiliki modal kuat, selanjutnya telah menjangkau seluruh pelosok bumi secara utuh terhadap produksi, investasi pemasaran dan pembiayaan dengan ciri utamanya adalah semakin kuatnya informasi dan pengetahuan (Juwono Sudarsono, 1995). Dengan semakin kuatnya informasi dan pengetahuan, maka di satu sisi hubungan antar negara dengan berbagai macam isinya termasuk dalam hal ini adalah perusahaan bisnis bisa berhubungan begitu bebas dan terbuka dengan berbagai macam latar belakang sosial, ekonomi dan budaya para customer-nya melintasi batas-batas geografis dimana mereka berada. Pada sisi lain kompetisi antar perusahaan bisnis menjadi lebih kompetitif dan transparan demi memenangkan persaingan pasar global. Setiap perusahaan saling berlomba untuk meraih kemenangan total tanpa batas demi mempertahankan market share, heart share, dan mind share, serta cenderung ekspansif terhadap setiap produk yang mereka pasarkan kepada para customer-nya dari berbagai belahan bumi. Salah satu urat nadi intangible asset perusahaan bisnis agar tetap eksis dalam arena persaingan kompetisi global adalah mengeksplorasi secara kontinyu kegiatan branding melalui emotional-branding.
Spesifikasi tulisan ini bermaterikan pada wacana kajian kekuatan emotional-branding sebagai manifestasi tool perusahaan melalui kegiatan manajemen kampanye brand dengan pilihan strategi bersaing yang sudah ditentukan, dimana keduanya telah mengkonsepsikan emotional-branding sebagai bagian dari unit analisa perspektif kaum hiperglobalis dan transformasionalis dalam bidang ekonomi. Keduanya telah menyepakati kepatuhan mutlak sebuah perusahaan untuk selalu berorientasi pada peraihan keunggulan kompetitif melalui penerapan konsep emotional-branding ini . Keunggulan kompetitif dalam hal ini tidak dipersepsikan menjadi the best corporat among the best corporates. Namun menjadi sebuah perusahaan yang mampu memposisikan kualitas dirinya secara kontinyu pada satu segmen pasar yang cenderung perilaku konsumennya dalam hirarki kebutuhan Maslow berada pada level kebutuhan ego, dan sekaligus pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri, dimana sarat dengan aspek-aspek hubungan emosional mereka terhadap produk favoritnya. Dan hal inilah yang terjadi pada mayoritas semua konsumen pada seluruh belahan dunia sekarang.

Kerangka Dasar Pemikiran
Brand dapat disebut pelabelan. Brand dapat membantu penjualan. Brand berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap suatu produk dan layanan, yang diyakini tidak saja dapat memenuhi kebutuhan mereka, tetapi dapat memberikan kepuasan yang lebih baik dan terjamin. Istilah brand muncul ketika persaingan produk semakin tajam dan menyebabkan perlunya penguatan peran label untuk mengelompokkan produk dan layanan ysng dimiliki dalam satu kesatuan guna membedakan produk itu dengan produk pesaing. Brand banyak membantu perusahaan besar menguasai pasar, dimana konsumen justru lebih hafal brand daripada merek barang itu sendiri. Salah satu upaya perusahaan untuk melakukan penetrasi pasar adalah melakukan branding. Istilah ini cukup popular di kalangan pemasaran karena memberikan efek besar terhadap peningkatan penjualan. Branding adalah usaha untuk memperkuat posisi produk di benak konsumen dengan cara menambah equitas dari nama sekumpulan produk. Brand yang berhasil adalah brand yang memiliki sejarah penting terhadap penguasaan informasi, khususnya tentang kelebihan produk bermerek dengan pengalaman positif yang dirasakan oleh konsumen pada produk itu. Jadi sebenarnya branding merupakan wujud nyata dari serangkaian upaya atau kegiatan manajemen perusahaan secara kontinyu dan bekesinambungan dalam rangka penciptaan merek. Ketika penciptaan merek sudah tercapai, maka brand equity dalam setiap benak konsumennya menjadi satu hal penting dalam setiap pengambilan keputusan pembelian, yang pada akhirnya menjadikan konsumen tersebut menjadi pelanggan yang loyal.
Branding adalah semacam roh perusahaan agar bagaimana perusahaan tersebut terus hidup dalam benak setiap konsumennya, karena pada hakekatnya branding merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan kualitas produk dengan customer sebagai user produk yang bersangkutan. Branding (penciptaan merek) bukan hanya mengenai ubikuitas(berada dimana-mana), visibilitas dan fungsi, namun mengenai penciptaan ikatan emosional dengan masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hanya jika sebuah produk atau jasa dapat memicu sebuah dialog emosional dengan para konsumen, barulah produk atau jasa ini memenuhi kualifikasi sebagai merek ( Joel Desgrippes dalam Marc Gobe, 2001 ). Eksplanasi dasar inilah yang memetakan perbedaan mendasar antara fungsi definisi branding dan merek. Apabila branding menjustifikasikan sebuah proses menuju terciptanya karakter khas suatu produk tertentu yang mewakili berbagai macam persepsi, keberadaan fantasi atau wants dari customer pengguna langsung produk tersebut, maka merek dalam hal ini adalah gambaran utuh dari wujud total keberhasilan entitas dialog emosional antara produk tersebut dengan customer-nya. Keberadaan branding ini begitu transparan mendiami seluruh proses kegiatan manajemen, dan juga ketika memasuki wilayah perencanaan strategi promosi dan pemasaran suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena kecepatan efek globalisasi ekonomi dalam bidang pemasaran barang dan jasa telah melahirkan apa yang disebut Peter Drucker sebagai revolusi diam yang sangat mempengaruhi manajemen branding setiap saat tanpa mengenal batasan tempat dan waktu. Pada akhirnya seperti yang sudah dijelaskan dalam epilog paragraph pendahuluan, revolusi diam ini juga melahirkan para konsumen yang perilakunya selalu berusaha setiap saat memenuhi kebutuhan ego (martabat, status, harga diri) dan aktualisasi dirinya (pemenuhan-diri). revolusi diam terjadi dalam lima bidang ( Edersheim, 2007 ) :
1. Informasi yang mengalir.
Sejak ekspansi internet, informasi dapat mengalir dalam waktu sekejap, tanpa memehartikan jarak dan jangkauan dan keberadaaannya benar-benar tak terduga. Dalam ekonomi yang terintegrasi secara global, manajemen harus membuat keputusan setiap jam di siang dan malam hari. Selama beberapa decade, informasi adalah kekuatan. Namun saat ini, dengan ketersediaan yang tak terduga dari informasi instan bagi setiap orang dengan hanya menggunakan laptop, kekuatan sebenarnya datang dari menyaring, menginterpretasikan dan menerjemahkan informasi yang banyak itu ke dalam tindakan.
2. Jangkauan geografis dari perusahaan dan customer meledak.
Dalam pasar yang global, brand diciptakan dan mendapatkan pengenalan yang luas dalam hitungan minggu atau bulan ketimbang tahun, memotong keuntungan yang dimiliki oleh pemain brand terkenal yang terbiasa menjadi pilihan. Pengertian intinya adalah bahwa hubungan antara perusahaan dan customer sudah menjangkau jauh dari batas-batas geografis. Keduanya bisa saling berhubungan tanpa batasan waktu, biaya dan kendala transportasi dalam hitungan detik saja.
3. Asumsi demografis yang paling dasar dijungkirbalikkan.
Populasi masyarakat di negara maju telah tersentak oleh para pekerja yang menua dan tingkat kelahiran yang berkurang. Migrasi dari pekerja industri ke pekerja pengetahuan serta kesuksesan yang meningkat para wanita dalam angkatan kerja telah mengubah kebutuhan customer dan selamanya mengubah hubungan perusahaan, baik dengan customernya maupun dengan karyawannya. Sampai belum lama ini, hanya customer di negara kaya yang dapat mencapai puncak dari piramida Maslow yang berupa aktualisasi diri, dengan dasar piramida berupa makanan dan tempat tinggal. Saat ini, jutaan lebih orang dalam berbagai tingkat sosial telah bebas dari rasa khawatir mengenai hal-hal mendasar; saat ini mereka mencari pelayanan dan kepuasaan diri.
4. Customer maju dan mengambil alih kendali perusahaan.
Customer maju dan mengambil alih kendali perusahaan. Para tidak lagi hanya merupakan penerima pasif dari barang-barang dan jasa; mereka adalah peserta aktif dari lahirnya suatu produk, baik dari seb agai kelompok yang mengeavaluasi produk atau sebagai individu yang bekerja dengan menggunakan program perangkat lunak dan desainer yang merancang segala sesuatu secara spesifik mulai dari celana jins Levi’s sampai alat penerangan. Consumer dapat mengakses pajangan virtal untuk hamper semua produk, dan mereka menginginkan produk yang dibuat sesuai pesanan itu diterima dengan hanya menekan mouse.
5. Dinding yang membatasi sisi dalam dan luar perusahaan runtuh.
Untuk menguji gagasan, perusahaan sekarang menggunakan keahlian yang diambil dari industi yang benar-benar berbeda dan dari kerja sama dengan perusahaan lain yang memiliki bersinggungan.

Manajemen Brand
Kelima faktor atau bidang yang mengalami revolusi diam seperti yang telah diuraikan oleh Drucker di atas sangat mempengaruhi bagaimana kualitas brand harus dikelola sedemikian rupa agar menjadi karakteristik jiwa tersendiri dari keseluruhan proses manajemen secara umum. Awal dari semua ini adalah melalui kegiatan Brand Campaign.
Branding adalah istilah lain dari kegiatan manajemen kampanye produk dan layanan. Kesuksesan yang diraih oleh kampanye ini didasarkan pada kemampuan tim pemasaran dalam menentukan strategi promosi dan distribusi produk secara simultan. Upaya kampanye produk mengalami kegagalan karena strategi itu dilakukan secara tergesa-gesa atau secara spontan.
Ketidakkompakan bagian promosi dan bagian distribusi produk dalam divisi pemasaran dapat menyebabkan kegagalan kampanye. Bagi perusahaan yang ingin menempatkan produknya sebagai national brand harus memiliki perencanaan yang matang. Demikianlah, distribusi menjadi patokan penting bagi tim promosi dalam menentukan langkah strategis yang tepat. Terdapat tahap-tahap penting dalam promosi atau kampanye brand ( Kennedy dan Soemanagara, 2006 ) :

Gambar Tahap-tahap Manajemen Kampanye Brand :

1.Brand Recognition → 2.Brand Preference → 3.Brand Insistence → 4.Lovely Brand/Brand Satisfy

1. Brand Recognition. Pada tahap ini, sebuah brand memasuki tahap pengenalan produk baru menjadi sebuah produk yang familier di mata publik. Brand muncul setiap saat dengan tema sama secara berulang-ulang sehingga brand itu mudah diingat oleh konsumen. Walaupun produk itu menarik untuk dicoba, namun produk itu menghadapi kemungkinan gagal jika produk yang dipromosikan itu tidak ada di pasar. Brand yang masuk dalam kerangka brand recognition adalah brand yang telah dikenal ciri khasnya.
2. Brand Preference. Brand pada tahap ini adalah dimana konsumen telah berpengalaman dengan produk yang ia pilih dari berbagai produk di sekitarnya. Produk yang dirasanya cukup memenuhi kebutuhan menjadi preferensi dari berbagai alternative produk. Konsumen cenderung mencoba produk lain dan produk alternative. Di sini produk baru berpeluang untuk memasuki pasar. Pengalaman yang baik terhadap produk baru membantu mereka mencapai kepuasan. Itulah mengapa perusahaan selalu membuat inovasi baru, meningkatkan kualitas dan penampilan produk, sebagai upaya mempertahankan konsumen agar tidak beralih ke produk lain. Preferensi brand di benak konsumen adalah bagian terpenting.
3. Brand Insistance. Pada tahap ini, brand insistence terjadi ketika konsumen mengambil keputusan bulat untuk mengkonsumsi suatu produk untuk kesekian kalinya. Konsumen lebih mengenal kelebihan produk ini daripada produk-produk lainnya, dan merasa aman untuk mengkonsumsinya. Pengalaman mereka pada penggunaan produk lain dengan brand yang sama juga berakhir dengan pengalaman yang menyenangkan sehingga muncul keyakinan dalam diri mereka untuk selalu menggunakan, atau mencoba produk lain dalam kelompok brand yang sama. Kepuasan yang mereka dapatkan dari penggunaan beberapa produk dalam satu brand menyebabkan tumbuhnya kepercayaan konsumen pada produsen sebagai perusahaan yang menghasilkan produk berkualitas serta memiliki jaminan tinggi, sehingga mereka mulai meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi produk sebelumnya.
4. Lovely Brand/Brand Satisfy. Tahap tertinggi brand adalah lovely brand atau brand satisfy, konsumen benar-benar puas terhadap pengalaman yang dialami berulang-ulang dari penggunaan satu atau beberapa produk dalam brand yang sama. Kebulatan tekad yang mereka peroleh pada tahap brand insistence membuat mereka yakin bahwa mereka akan selalu terpuaskan oleh produk-produk itu. Produk yang telah menempatkan dirinya pada lovely brand memperoleh keuntungan yang sangat besar, karena mereka menciptakan “jutaan sales”. Konsumen akan memberikan solusi masalah yang dihadapi oleh rekan mereka dan memberikan saran penggunaan produk yang menurutnya paling baik.

Model Strategi Bersaing
Keunggulan kompetitif equitas brand di samping faktor pengelolaannya yang terpadu dan simultan tidak akan berjalan berkesinambungan tanpa penerapan dukungan strategi bersaing yang tepat sebagai motor penggeraknya. Jadi brand itu sendiri sebenarnya merupakan satu komponen/aset vital yang ikut menjalankan roda strategi bersaing yang sudah dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan Porter, maka ada lima stereotype persaingan industri yang masing-masing berbeda pada tingkat eskalasi persaingannya : (1) Masuknya pendatang baru, (2) Ancaman produk pengganti, (3) Kekuatan tawar menawar pembeli (4), Kekuatan tawar menawar pemasok, dan (5) Persaingan diantara para pesaing yang ada
Porter merumuskan tiga strategi bersaing yang inheren dalam mengantisipasi berbagai kekuatan lima persaingan industri tersebut, baik yang bersifat ofensif maupun defensif demi menciptakan posisi defendable (aman) perusahaan yang bersangkutan. Terdapat dua faktor yang diperhitungkan dalam menciptakan strategi bersaing yang tepat. Faktor Pertama, didasarkan pada keunggulan kompetitif organisasi. Menurut Porter keunggulan kompetitif hanya akan diperoleh lewat salah satu dari dua sumber ( Kuncoro, 2006 ) : bisa dari keunggulan menciptakan biaya yang rendah (cost leadership), atau dari kemampuan organisasi untuk berbeda (differentiation) dibandingkan para pesaingnya. Faktor kedua dalam pendekatan ini adalah cakupan produk-pasar (competitive scope) dimana organisasi saling bersaing satu sama lain dalam pasar yang luas dan sempit. Gabungan dari dua faktor ini membentuk dasar dari strategi bersaing generik Porter, yaitu (1) Kepemimpinan biaya (cost leadership), (2) Diferensiasi (differentiation), dan (3) Fokus (berbasis biaya atau differentiation).
Pertama, Strategi kepemimpinan biaya adalah strategi yang digunakan organisasi apabila ingin menjadi pemimpin pasar berbasis biaya rendah dengan basis pelanggan yang luas. Biaya produksi di sini bukan total biaya produksi, dan buka pada harga. Pada strategi ini organisasi ini berfokus pada bagaimana perusahaan mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang rendah. Perusahaan yang mampu memciptakan biaya produksi yang rendah tentu saja mampu menjual produknya dengan harga yang lebih rendah dari pesaing, tetapi masih bisa menghasilkan keuntungan bagi perusahaannya. Perusahaan semacam ini tidak takut terhadap ancaman pesaing yang menurunkan harga. Ciri khas perusahaan yang menerapkan strategi ini biasanya memiliki sedikit lini produk karena semakin banyak varian produk yang dibuat, maka hasilnya akan berbanding lurus terhadap cost production-nya juga. Di samping itu perusahaan ini juga berusaha meminimalisasikan segala biaya yang berhubungan dengan rantai nilai perusahaan (yang rata-rata membutuhkan budget besar) seperti biaya penelitian dan pengembangan, biaya promosi, biaya jasa dan biaya penjualan. Kedua, Strategi diferensiasi. Perusahaan akan menggunakan strategi diferensiasi bila ingin bersaing dengan pesaingnya dalam hal keunikan produk dan jasa yang ditawarkan. Keunikan tersebut dapat dilihat dari ciri produk yang menawarkan nilai-nilai yang konsumen sehingga menjadikan produk tersebut unik dan berbeda di mata konsumen. Konsumen akan rela membayar dengan harga premium bagi produk-produk yang dipersepsikan sebagai produk yang nunik dan berbeda olehnya. Deferensiasi dapat dilakukan dalam banyak bentuk, seperti diferensiasi dalam : gengsi (prestige) dan brand image (BMW, Lenovo, Omega), teknologi (Marantz, Microsoft, Boeing), inovasi (Nokia, Bodyshop), Fitur (Honda Goldwing, mountain bike, Ducati), jasa pelayanan pelanggan (Matahari Department Stores, Indovision), jaringan dealer (Mercedes-Benz, Komatsu). Sangat mungkin bagi perusahaan untuk mendiferensiasikan produk mereka dalam beberapa dimensi sekaligus. Misalnya, BMW, yang mendiferensiasikan produknya sebagai produk yang mampu memberikan prestise kepada penggunanya, merupakan produk berkualitas tinggi dengan teknik pembuatan yang superior. Perusahaan mampu menciptakan keunggulan diferensiasi dan memperoleh kinerja di atas rata-rata ketika harga premium yang mereka tetapkan untuk produknya melebihi biaya ekstra yang mereka keluarkan untuk menjadikan produk mereka unik. Ketiga, Strategi Fokus. Perusahaan dengan strategi fokus melayani kebutuhan spesifik ceruk pasar (market niche). Ia bisa memilih strategi fokus berbasis biaya atau diferensiasi. Perbedaaannya terletak pada segmentasinya yang lebih kecil. Hal ini ditempuh oleh strategi fokus melalui tiga cara : (1) Geografis, (2) Tipe Konsumen dan (3) Segmen Lini produk. Perusahaan dengan strategi ini dapat berlandaskan keunggulan biaya atau diferensiasi. Perusahaan yang menerapkan strategi focus yang berbasis pada biaya, bersaing dengan pesaing lain dalam industri untuk menjadi pemimpin pasar pada celah pasar yang sempit dan spesifik. Perusahaan yang menggunakan strategi fokus berbasis diferensiasi bisa menggunakan bentuk apapun yang digunakan oleh perusahaan yang berbasis diferensiasi : fitur produk, inovasi produk, kualitas produk dan lainnya. Yang menjadi perbedaan adalah strategi fokus berbasis diferensiasi berspesialisasi pada satu atau beberapa segmen pasar saja.

Pembahasan
Ketika karakter strategi bersaing telah ditetapkan, maka branding mulai memainkan akselerasinya. Apapun strategi bersaing yang telah dipilih oleh perusahaan, maka branding seperti roh perusahaan. Sekalipun perusahaan memilih strategi bersaing dengan menetapkan harga rendah untuk segmen pasar spesifik, akselerasi branding tidak dapat dianggap remeh keberadaannya. Melalui penerapan kompetensi manajemen brand berbasis strategi bersaing apapun yang dipilih, maka kunci inti dari ini semua adalah branding yang mampu menggugah emosi konsumen sampai pada tingkat core of belief-nya terhadap produk yang bersangkutan. Baik brand ketika berada pada level campaign, recognition, insistence dan lovely/satisfy memerlukan hubungan-hubungan emosional yang semakin tinggi dan sensitif pada setiap level manajemen brand.
Aspek hubungan emosional brand terhadap konsumen yang nantinya akan menjadi pelanggan produk yang bersangkutan sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip determinasi brand ke dalam beberapa intisari interpretasi khusus ( Kottler dan Pfoertsch, 2008 ) bahwa : pertama, brand lebih dari sekedar produk, nama brand, logo, symbol, slogan, iklan, jingle, juru bicara; ini semua hanyalah komponen berwujud dari suatu brand-bukan brand itu sendiri! Kedua, brand adalah janji, totalitas dari suatu persepsi-segala sesuatu yang anda lihat, dengar, baca, rasakan, pikirkan dan lain-lain-tentang produk atau jasa atau bisnis. Brand memiliki posisi istimewa di benak customer didasari pada pengalaaman masa lalu, pergaulan dan ekspetasi ke depan. Brand juga merupakan jalan pintas bagi atribut, manfaat, keyakinan dan nilai mendeferiansi, mengurangi kompleksitas dan menyederhanakan proses pengambilan keputusan. Dari kedua prinsip ini maka dalam branding harus dibangun oleh lima prinsip dasar awal kesuksesan brand ( ibid ) : konsistensi, kejelasan, kontinuitas, visibilitas dan autensititas. Konsistensi diperlukan oleh semua dimensi terkait, tidak hanya yang terkait produk, tetapi juga dalam saluran pemasaran, dan bahkan pada cara karyawan menjawab telepon atau merespons keluhan customer. Tanggung jawab sosial dan perencanaan investasi juga merupakan bagian dari hal ini. Tentu saja konsistensi strategi brand tidak menjadi benar-benar efektif jika prinsip branding lain tidak dimasukkan. Kejelasan dalam branding adalah penting karena tanpa kejelasan tidak ada brand. Kontinuitas menyiratkan bahwa perusahaan tidak boleh mengubah apa yang diperjuangkannya hanya untuk perubahan. Brand yang kuat dikelola secara terus menerus. Orang mengandalkan dan percaya karena mereka tahu apa yang dapat diharapkan dari suatu brand yang kuat. Melaksanakan aturan-aturan ini dengan konsisten tidaklah cukup jika brand tidak selalu terlihat di mata khalayak yang menjadi target brand. Visibilitas brand yang menaikkan penyingkapan brand di mata konsumen adalah penting untuk mencapai mindshare. Autentisitas brand diarahkan pada pemikiran dan tindakan setiap orang di perusahaan dengan fokus menciptakan orisinalitas dan perasaan customer untuk memiliki, menggunakan, atau melakukan pencarian unik, walaupun hal ini terjadi tanpa disadari.
Kelima prinsip dasar awal kesuksesan branding ini merupakan serangkaian manifestasi dari tiga tipologi brand yaitu functional brand, image brand dan experiental brand ( AB.Susanto dan Himawan Wijanarko, 2004 ). Brand functional berkaitan manfaat fungsional (functional benefit) sehingga sangat terkait dengan penafsiran yang dikaitkan dengan atribut-atribut fungsional. Contohnya Rinso dan Pepsodent. Merek fungsional sangat mengutamakan kinerja produk dan nilai ekonomisnya. Image brand terutama untuk memberikan manfaat ekspresi diri (self expression benefit). Contohnya adalah Mount Blanc dan Mercedes Benz. Sebagai merk yang bertujuan untuk meningkatkan citra pemakainya, merek ini haruslah mempunyai kekuatan untuk membangkitkan keinginan. Experiental Brands terutama untuk memberikan manfaat emosional. Contohnya Disney dan Singapore Airlines. Merek eksperiental sangat mengutamakan kemampuannya dalam memberikan pengalaman yang unik kepada pelanggan, sehingga pelanggan merasa terkesan dan merasakan bedanya dengan pesaing. Faktor yang menentukan adalah 2 P yaitu place dan people. Place adalah tempat atau sarana untuk memberikan pengalaman yang dapat dirasakan oleh pelanggan (wahana-Disneyland dan pesawat-Singapore Airlines) dan people adalah cara para karyawan memberikan pelayanan (service delivery) kepada pelanggan. Dalam pengambilan keputusan terhadap pemilihan merek ini konsumen mempunyai keterlibatan tinggi. Kunci untuk mengelola merek ini adalah konsistensi dan kepuasan.
Berdasarkan kedua prinsip ini maka setiap level manajemen branding pada berbagai tipologi-nya terhadap strategi bersaing yang telah ditetapkan harus mengejawantahkan aspek emosional dari produk dan sistem distribusinya yang menjadi kunci perbedaan antara pilihan akhir konsumen dengan harga yang mereka bayar. Tekanan utama pada aspek emosional berarti “bagaimana suatu merek menggugah perasaan dan emosi konsumen; bagaimana suatu merek menjadi hidup bagi masyarakat dan membentuk hubungan yang mendalam dan tahan lama. Hal ini berarti bahwa pemahaman terhadap kebutuhan dan keinginan emosional manusia benar-benar merupakan kunci untuk sukses”, terutama pada saat ini lebih daripada sebelumnya. Perusahaan harus mengambil langkah-langkah pasti dalam membangun koneksi dan hubungan yang lebih kuat yang “mengakui konsumen mereka sebagai rekan. Industri saat ini harus membawakan konsumen produk yang mereka inginkan, tepat pada saat mereka menginginkan produk tersebut, melalui saluran yang inspiratif dan merespon kebutuhan mereka dengan intim”. Inilah yang dimaksud sebagai dunia emotiona-branding yang mendinamisasikan unsur-unsur antropologi, imajinasi, pengalaman panca indra dan pendekatan visioner menuju perubahan. Emotional branding memfokuskan pada aspek yang paling mendesak dari karakter manusia; keinginan untuk memperoleh kepuasan material, dan mengalami pemenuhan emosional. Suatu merek berada pada posisi yang unik untuk memperoleh aspek-aspek ini karena merek dapat memanfaatkan dorongan-dorongan aspirasional yang mendasari motivasi manusia. Dunia emotional branding menata kembali kesalahan konsep terbesar dalam strategi branding, yaitu keyakinan bahwa “branding berkaitan dengan pangsa pasar, padahal branding sesungguhnya berkaitan dengan pangsa pikiran dan emosi”. Berdasarkan filosofi konsep dasar inilah, maka terdapat empat pilar penyangga emotional-branding : hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi dan visi. Terminal terakhir dari pencapaian emotional branding dengan empat variabel penyangga di atas adalah keberhasilan suatu merk bersangkutan memasuki wilayah core believer pemenuhan kepuasan material dan emosional konsumen yang disebut sebagai Brand Religion. Brand Religion merupakan tahap kelima atau terakhir dari keempat tahapan manajemen kampanye brand.
Koherensi sinergis faktor hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi dan visi dimaksudkan bahwa dalam faktor pengertian hubungan berarti pertama, mengetahui landscape konsumen yang menjadi pelanggan sebenarnya. Pemahaman landscape konsumen yang jelas dan mendalam akan menghasilkan aspek kedua, bidikan kritria emosional pelanggan yang tepat sasaran.Tiga populasi konsumen utama yang menghuni landscape ritel saat ini adalah generasi baby boom (usia 37 tahun-50 tahun), gen X (usia 25 tahun-36 tahun) dan gen Y (usia 6 tahun-24 tahun). Tiga segmen populasi ini sama sekali berbeda. Generasi Baby Boom memberi respon terhadap hal-hal seperti prestasi, status dan kinerja. Generasi gen X mementingkan imajinasi, kreativitas dan hubungan, sedangkan generasi gen Y merespon pada kesenangan, interaktivitas dan pengalaman. Emotional branding yang harus disemaikan kepada generasi Baby Boom adalah aspek kenyamanan, jaminan dan solusi bagi kelompok dimana ini, berbanding lurus terhadap prestasi, status dan kinerja. Bagi generasi gen X, branding yang sarat aspek emotional adalah yang mampu menyemaikan mereka mempunyai selera yang tajam dan berbeda yang secara bebas mengadaptasi dan meninggalkan fesyen serta merek yang ada seraya memenuhi kebutuhan akan fesyen yang trendi dan kebutuhan untuk menjadi pribadi yang unik. Singkatnya potret era post modern. Sebaliknya terhadap generasi gen Y, mengikuti gaya hidup mereka yang bergerak cepat dan selera yang cepat berubah memberikan satu kesimpulan tersendiri. Generasi gen Y adalah generasi yang berkarakter penuntut, optimis dan individualistis. Mereka memiliki kemauan dan kekuatan tersendiri untuk menentukan apa yang akan dan tidak akan mereka beli. Skema branding yang tepat untuk memasuki wilayah kapasitas emosional branding untuk mereka adalah ketika justru membiarkan mereka sendiri memberi tahu petunjuk jalan yang mereka inginkan, yaitu karakter produk yang mencerminkan kolaborasi kesenangan, interaktivitas dan pengalaman mereka yang mampu memberikan emotional taste tersendiri yang membedakan mereka dari generasi baby boomer dan gen X. Baik generasi baby boom, gen x dan gen Y pada hakekatnya menekankan faktor pengalaman panca indera yang membutuhkan kreativitas eksplorasi imajinasi berdasarkan orientasi visi produk yang bersangkutan terhadap penawaran emosional benefit sebagai cermin ekspresi diri dari masing-masing generasi tersebut.
Brand yang ber-diferensiasi kompetitif adalah brand yang mampu mengisi ceruk suasana pergulatan pikiran dan emosional dalam benak konsumennya. Maknanya lebih dari sekedar memasuki pangsa pasar dengan berikut pemahaman holistik perilaku konsumen yang eligible terhadap produk yang bersangkutan. Jadi Branding dalam setiap manajemen kampanyenya harus menterjemahkan karakter brand yang penuh suasana pergulatan pikiran dan emosional tersebut ke dalam desain produk, kualitas produk, teknik promosi, sevice, after sales service dan komunikasi pemasarannya yang terus berkesinambungan. Hal ini tidak bermaksud untuk memecah belah fokus loyalitas konsumen yang notabene menjadi pelanggan, namun lebih dari itu adalah bagaimana menjadikan sebuah brand tersebut memiliki kekuatan heart and mind share yang tidak dapat begitu saja mudah digeser oleh pemain-pemain brand yang relatif memiliki karakteristik produk sejenis. Oleh karena itu pemenuhan kondisi-kondisi emosional, dimana sebuah brand mulai dari aspek desain produk sampai dengan komunikasi pemasarannya dari tiap level manajemen kampanyenya harus memiliki muatan karakternya ke dalam variabel pengalaman panca indera sebagai kelanjutan faktor hubungan yaitu bunyi yang membawa suasana, warna yang menghipnotis/bunyi yang memikat, rasa yang menggiurkan, bentuk yang menyentuh dan aroma yang menggoda. Kelima variabel ini harus ter-representatikan pada tiap generasi konsumen, baik untuk baby boomer, gen x maupun gen y. Dari kelima varibel inilah hasil imajinasi berupa brand yang bernilai unggul dan kompetitif ber-diferensiasi unik menjadi unvaluable- survived asset sepanjang masa. Tag line brand yang diusung oleh kelima variabel emosional branding ini adalah tercapainya visi corporat semula, yaitu win the customer’s heart and mind share forever.
Variabel pertama, bunyi yang menggoda. Secara umum ketika konsumen diperlihatkan suatu peroduk dan iklan produk, biasanya mereka tidak merasakan sebuah kebutuhan personal sebuah produk, dan juga tidak termasuk atau ingin membeli peroduk tersebut. Karena begitu banyak individu yang tidak secara aktif mencari informasi tentang produk, maka menstimulasi dan mempengaruhi emosi adalah cara yang lebih baik untuk membedakan suatu produk dari produk lainnya dan untuk menarik minat konsumen. Musik adalah pendekatan yang efektif karena musik membebaskan diri dari pikiran rasional dan langsung mengarah ke pikiran emosional, area dimana para konsumen digerakkan oleh keinginan bersuka ria. Variabel kedua, warna yang menghipnotis/simbol yang memikat. Branding melalui warna bukanlah membicarakan merk yang cantik atau indah. Warna adalah tentang menyampaikan informasi penting kepada konsumen anda (yang mungkin, selanjutnya, berhubungan dengan kecantikan atau keindahan yang menyenangkan). Warna memicu respon yang sangat spesifik dalam sistem saraf pusat dan kortex otak (cerebral cortex). Sekali mempengaruhi cerebral cortex, warna dapat mengaktifkan pikiran, memori dan persepsi tertentu. Stimulan ini mendorong peningkatan kemampuan konsumen untuk memproses informasi. Warna yang dipilih secara tepat mengidentifikasi logo, produk, tampilan merek, serta merangsang ingatan yang lebih baik terhadap merek dan sebagainya, seiring dengan pemahaman yang semakin akurat terhadap apa yang diwakilkan oleh merek. Pemilihan warna yang buruk akan mengaburkan pesan, membingungkan konsumen dan dalam situasi ekstrem, menyebabkan kegagalan suatu merek. Warna sering kali menunjukkan suasana hati sebuah merek dalam logo dan kemasan. Variabel ketiga, rasa yang menggiurkan. Para pembeli mencari tempat untuk melarikan diri dari tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab di rumah, suatu tempat dimana mereka dapat bersantai dan berinteraksi dengan menyenangkan. Secangkir kopi, satu gelas anggur atau beberapa buah permen dapat membuat suatu perbedaan. Bagi kebanyakan pembeli, pelayanan ini jauh lebih bernilai dibandingkan label harga yang menempel, baik itu karena manfaatnya yang tampak (tangible) maupun karena nilai simbolis dari tindakan (gesture) tersebut. Jangan biarkan konsumen haus akan kasih sayang. Variabel keempat, bentuk yang menyentuh. Diasumsikan, bahwa para pembeli mengkompensasi ketiadaan informasi dengan cara menggunakan indra mereka untuk memperoleh lenih banyak informasi. Sentuhan, baik pada produk itu sendiri, aksesori took, temperatur ruangan atau bahkan lantai atau pegangan pintu depan, adalah suatu dimensi dari pengalaman merek. Secara khusus dalam dunia yang telah kehilangan indra sentuhan (tactile deprive) ini, terutama yang semakin dibatasi oleh kemajuan internet, maka bisnis yang memberikan sentuhan akan dihargai oleh konsumen. Beberapa bisnis telah benar-benar membuat desain produk yang menarik dengan tujuan untuk membuat merek mereka terasa menyenangkan saat disentuh, karena sentuhan merupakan suatu cara yang cukup akurat, untuk merasakan memiliki suatu obyek. Variabel kelima, aroma yang menggoda. Penciuman merupakan indra yang paling kuat, namun aroma merupakan alat yang seringkali diabaikan dalam upaya memberikan pengalaman yang emosional dan menyenangkan pada konsumen. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa aroma memiliki potensi yang lebih dibandingkan dengan indra lainnya untuk membangkitkan emosi kita. Hal ini mungkin karena terdapat hubungan erat antara wilayah penciuman (olfactory) dari otak dengan amygdale-hippocampal complex (wilayah dimana memori emosional diproses) dibandingkan dengan yang dimiliki oleh indra lainnya. Aroma tidak disaring keluar oleh otak; aroma berkenaan dengan insting dan spontanitas. Maka dari itu hidung konsumen anda merupakan jalur langsung menuju memori dan emosi mereka yang menunggu stimulasi anda. Dimana anda menginginkan konsumen anda berada? Sebuah kamar tidur yang romantis? Kebun binatang? Atau mungkin dapur? Dimanapun lokasinya, semakin kaya rangsangan lingkungannya semakin baik, dan aroma seharusnya merupakan bagian vital dari rencana branding ( Marc Gobé, 2001 ).
Kelima variabel emosional-branding di atas merupakan kelima unsur pembentuk bahan bakar kepribadian merek yang menggerakkan motor inovasi. Inovasi adalah sahabat terbaik merek. Sahabat terbaik merek yang sarat dengan karakter pribadi merek yang tak terlupakan. Berinovasi dalam kelima variabel emosional branding ini berarti menciptakan inspirasi paradigma kreativitas berpikir dan bertindak yang berada di luar wilayah kelaziman. Meyakinkan konsumen untuk membeli sebuah produk atau jasa dalam lingkungan yang sangat jenuh dan kompetitif jelas sangat sulit. Kesuksesannya sangat tergantung pada pemahaman tentang kekuatan emosional yang luar biasa dan tak terbatas, kekuatan yang sangat mempengaruhi semua orang dalam membuat keputusan. Serupa dengan semua upaya berharga lainnya, tidak ada pedoman pasti tentang cara terbaik untuk melakukan hal ini. Kreativitas tidak bekerja seperti itu! Merek harus memiliki komitmen terus menerus untuk membangun kultur terbuka berorientasi pada hubungan, yang merangsang kepekaan/pemahaman emosional, dan terus mempertanyakan status quo, yang pada gilirannya akan menimbulkan ekspresi kreativitas menggetarkan hati. Jenis inspirasi yang akan memunculkan program desain merek yang inovativ dalam pengembangan produk, pengemasan, penjualan, kehadiran merek, dan iklan tidak bisa diawetkan atau dibeli, tetapi dapat dicari dan kemudian dijual.
Emotional-branding akan mencakup semua hal sinergis yang bermutualisma terhadap identitas budaya perusahaan yang tercermin dari segala pikiran dan tindakan unit/departemen pembentuk indentitas perusahaan tersebut terhadap ekspetasi dan ekspresi pelanggan. Mulai dari program identitas perusahaan yang didiktekan sampai ke program yang terkait secara emosional, semuanya merupakan ekspresi dari budaya perusahaan, kepribadian perusahaan, serta produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan : simbol dan fitur unik dari nilai yang seharusnya dapat membangkitkan rasa percaya konsumen, karyawan, klien, pemasok dan komunitas keuangan. Coca Cola, IBM dan Mercedes adalah contoh perusahaan yang memiliki program identitas yang sukses mampu bertahan dalam ujian waktu. Tulisan tipografis Coca Cola dan warna merahnya yang menonjol sangat unik dan melekat dalam ingatan; logo IBM-dengan warna biru yang unik-dikenal di seluruh dunia; logo bintang tiga berkaki tiga dalam lingkaran milik Mercedes tidak hanya dilihat sebagai jaminan produksi berkualitas tinggi, tetapi juga bertindak sebagai simbol nilai prestise mobil dan dapat diartikan sebagai simbol selera yang tinggi dan simbol status pemiliknya, selalu fokus pada peralihan dari budaya rasionalitas (berbasis fungsi dan manfaat dari produk) ke budaya keinginan (berbasis ikatan emosional antar konsumen dengan merek).
Orientasi terhadap budaya keinginan berbasis ikatan emosional antara konsumen dengan merek dideskripsikan dengan begitu determinatif oleh Michael Chandler dalam sebuah Magnum Opus-nya yang berjudul Dream-weaving (Menenun Impian). Saatnya memainkan tangan terkuat anda, tangan yang akan membedakan anda, perusahaan anda dan karyawan anda dari pesaing, suatu strategi yang kebal terhadap serangan dari pesaing, serangkaian taktik yang tidak hanya akan memperbaiki kemampulabaan, tetapi juga sangat efektif sehingga menjadi penggerak perusahaan anda. Anda tidak akan lagi terjebak di dalam arena yang dipenuhi oleh puluhan ribu pesaing yang menjual produk dan layanan serupa, saling berperang berbasis harga sementara konsumen menonton dan akhirnya menjadi pemenang tunggal dalam pertempuran yang tidak mungkin dimenangkan oleh perusahaan manapun. Ucapkan selamat tinggal untuk semua itu. Doakan semoga pesaing anda sukses, karena anda memasuki suatu arena yang sepenuhnya baru, yang dipenuhi oleh konsumen antusias, arena yang hanya dimiliki satu pemain : DreamWeaver (Penenun Impian).
Meraih impian adalah tujuan tertinggi manusia. Itu adalah gerbang menuju surga. Dan kunci pembuka gerbang ini adalah iklan, pemasaran dan relasi publik terkuat di bumi: emosi. Mengapa begitu? Karena tidak ada keputusan pembelian di muka bumi yang tidak didasarkan pada emosi dan dijustifikasi oleh logika. Mengapa? Karena manusia adalah mahluk emosional. Cinta, benci, gembira, sedih, dan pertempuran antara kebatilan dengan kebenaran, kebaikan dengan kejahatan dan berharga atau tidak berharga semuanya terjadi di dalam arena emosional. Meskipun tersedia jawaban yang logis dan rasional, emosi biasanya lebih berpengaruh. Itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Dan apa target dari medan perang emosional? Peralihan impian individual seseorang. Upaya mewujudkan cita-cita jelas merupakan isu paling penting dalam kehidupan seseorang. Titik segala hal atau setiap orang yang tidak berperan dalam merealisasikan impian akan terabaikan.
Apa hubungannya menenun impian emosional ini dengan perusahaan, toko, komoditas, bank anda atau sebuah universitas? Segalanya. Semuanya. Perusahaan yang menyadari dan peka terhadap pengaruh signifikan dari emosi dan pemenuhan impian dalam kehidupan konsumen, akan berupaya untuk membedakan diri mereka dari pesaing. Perusahaan penenun-impian berfokus pada upaya membuat impian konsumen menjadi kenyatan. Baik manajemen merek, iklan, kontak, pemasaran, penjualan dan interaksi dengan konsumen (dalam segala lini manajemen perusahaan dari top sampai bottom) berfokus pada pemenuhan impian konsumen, apakah itu cucian lebih bersih, gigi lebih putih, jaminan terbaik universitas atau mobil balap terbaru berwarna merah menyala. Tidak ada pesan-pesan yang saling bertentangan.
Memasuki dunia impian konsumen berarti mengeksplorasi kapasitas wilayah emosi konsumen sampai dengan batas terjauh dalam medan persepsi keinginan konsumen. Rasionalitas logika keputusan pembelian konsumen yang menjiwai setiap tahap branding dalam manajemen kampanye brand dengan dipenuhi kelima unsur utama emotional-branding tersebut akan menghasilkan brand lovely/satisfaction dalam wujudnya sebagai brand religion, sebagai pencapain tertinggi realisasi penuh impian tiap konsumen, dimana menjadikan konsumen tersebut sebagai pelanggan (customer) setia kita selamanya. Jika, secara operasional, bisnis anda tidak logis, tidak rasional atau bersifat manipulatif, emosi tidak akan membantu. Konsumen mesti yakin pada kejujuran, kemahiran, profesionalisme, integritas dan kepedulian anda terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan mereka, karena jika tidak, hubungan anda dengan mereka tidak akan bertahan lama. Ingatlah peribahasa “anda hanya bisa membohongi seseorang satu kali”. Jika seseorang mengetahui bahwa anda atau bisnis anda mempermainkannya, impiannya, peluang anda membentuk hubungan dengannya, pada level apapun, akan menghilang. Raib ( Michael Chandler, 2006 ). Loyalitas hubungan dengan konsumen yang notabene adalah pelanggan kita dimulai dari sebuah ikatan hubungan yang lebih mengedepankan aspek emosional. Emosi lebih kuat daripada logika. Oleh karena itu besaran ukuran market share saja tidak begitu saja signifikan jika tidak diliputi oleh jiwa heart and mind share’s customer kita. “Bukan kuantitas pangsa pasar yang harus dijelajahi keberadaannya, akan tetapi kualitas pangsa pasar yang tercermin pada kekuatan entitas mutlak keunggulan kualitas heart and mind share suatu produk barang atau jasa tersebut di dalam benak customer maupun competitor-nya”. Ketiadaan emosi tersebut membuat pembelian yang berulang menjadi sebuah aktivitas mekanis, proses perilaku, membuat pelanggan tidak mempunyai alasan nyata untuk tinggal. Dan akhirnya dengan sukarela mereka meninggalkan kita tanpa pernah berpaling kembali.
Pencapaian tertinggi emotional-branding beserta kelima pondasi pembentuknya seperti tersebut di atas adalah brand religion. Brand religion adalah capaian tertinggi sebuah merek. Ia adalah “ultimate destination of a brand”. Anda boleh mencapai brand awareness tinggi dan brand loyalty kuat. Anda juga boleh memiliki brand value dan brand culture yang kukuh. Namun, itu semua belum mencapai kulminasi jika anda belum bunya brand religion. brand religion dapat ditemukan pada emotional-branding yang sudah mapan pada fase lovely brand. Kuantitas pangsa pasar dalam berbagai jumlah customer berikut perilaku dan keputusan pembeliannya sudah bukan segalanya. “Pemenang sejati suatu produk justru terjadi ketika kualitas hasil tenunan demi tenunan impian konsumen terealisasikan begitu emosional”. Hal ini hanya terdapat pada brand yang berada dalam kemasan brand religion. “Level kuantitas sudah tereliminir sedemikian rupa oleh brand religion yang lebih mengutamakan aspek kualitas hubungan emosional antara customer dengan produk yang bersangkutan”. Brand religion adalah sebuah posisi ketika merek anda sudah menjadi semacam agama (baca: keyakinan inti/core belief-penulis) bagi customer anda. Bagi customer, ia sudah menjadi semacam kepercayaan, ketika di atas kepercayaan tersebut terbangun sebuah “ikatan spiritual” antara merek dan si customer. Dan akhirnya, ketika merek anda telah mencapai level ini, anda akan mendapat “kemewahan” yang tak akan didapat pesaing anda berupa customer involvement yang amat tinggi dan loyalitas yang tak akan mungkin tertandingi oleh pesaing anda ( Hermawan Kertajaya, 2007 ). Akan tetapi, walaupun proses ke arah brand religion ini sepertinya random, ada satu hal yang hampir pasti, yaitu bahwa brand religion diperoleh bukan karena proposisi nilai fungsional, melainkan lebih karena emosional. “Brand yang karismatik tidak hanya menawarkan value emosional, intelektual, atau bahkan fungsional, tetapi juga menawarkan value spiritual yang menjadi dasar bagi pembentukan ikatan spiritual antara brand itu dan pelanggan”.
Banyak pemain yang terjebak pada kompetisi wilayah fungsional maupun intelektual dengan variasi penerapan strategi bersaing berbasis harga, promosi atau gabungan dari keduanya seperti yang telah dijelaskan pada paragraf pemikiran awal. Namun mereka lupa bahwa di atas itu semua wilayah emosional tetap harus dimasukkan sebagai unsur pembentuk strategi bersaing, dimana mengedepankan motto Always Being Toward To The Ultimate Destination Of A Brand. Biasanya, visi menuju level tertinggi tersebut memang ada dalam perencanaan strategis manajemen suatu perusahaan atau institusi terkait, namun dalam perjalananannya ketika mungkin sasaran jangka pendek maupun panjang mereka terpenuhi, seketika itu pula visibilitas perjalanan menuju fase yang paling vital berikutnya, yaitu brand religion menjadi kabur, bahkan begitu absurd untuk ditempuh. Berbagai argumen excuse alasan datang silih berganti hanya mungkin karena faktor pesaing yang lebih kompeten dalam menyajikan harga yang lebih rendah, promosi yang begitu intuitif ataupun ekuitas merek yang lebih inspiratif. Apabila dikaji lebih mendalam lagi, siapapun bisa memasuki wilayah emosional konsumen yang justru tidak semua pemain/perusahaan/institusi mau memasukinya, karena terkait dengan memasuki suatu eksplorasi petualangan wilayah core belief konsumen yang penuh dengan pekerjaan menenun impian emosional konsumen yang harus dirajut satu demi satu, dimana semua ini harus diawali dengan emotional-branding campaign. Banyak dari mereka tidak sabar untuk segera menikmati hasilnya demi keuntungan semata matter profit-oriented. Bermain di medan emosional berarti anda dalam jangka panjang nantinya akan lebih banyak menikmati un-matter profit, sesuatu yang tidak semua pemain memiliki kesabaran untuk mencapainya, tetapi pintu orientasi dan kesempatan selalu terbuka lebar bagi perusahaan atau institusi yang mau memasukinya demi pencapain tahap ultimately un-matter satisfaction, yaitu kemewahan highest customer involvement dan loyalitas yang tak tertandingi. Oleh karena itu sekali lagi dalam hakekat setiap tahap manajemen kampanye brand, dengan menggunakan emotional-branding berarti suatu perusahaan/institusi berbasis orientasi produk barang maupun jasa telah menempatkan tenunan impian konsumennya pada wilayah brand religion. Ini semua pada akhirnya menjadikan perusahaan/institusi tersebut ter-diferensiasi manunggal secara spiritual dalam gelombang arus arena persaingan globalisasi ekonomi yang sangat kompetitif.

Kesimpulan
Baik kelompok pendukung hiperglobalis maupun pendukung transformasionalis sepakat bahwa globalisasi ekonomi mencerminkan kekuatan logika pasar untuk berproduksi secara efektif dan efisien, dimana jangkauan kekuatannya telah meliputi segala aspek terkait dengan produksi, investasi, pemasaran dan pembiayaan. Dengan ditambah semakin menguatnya arus informasi dan pengetahuan, maka efek revolusi diam seperti yang dikemukakan oleh Peter Drucker juga mempengaruhi ketatnya arena kompetisi antar produk (tangible maupun intangible) dalam meraih keunggulan kompetitif masing-masing. Kuncinya dalam hal ini adalah terus mengeksplorasi secara kontinyu dan inovatif melalui kegiatan emotional-branding.
Perusahaan harus mengambil langkah-langkah pasti dalam membangun koneksi dan hubungan yang lebih kuat dimana mengakui konsumen mereka sebagai rekan. Kemampuan untuk merespon secara intim dan adaptif untuk membawa konsumen ke dalam produk yang mereka inginkan, tepat pada saat mereka menginginkan melalui saluran yang inspiratif inilah yang disebut sebagai dunia emotional-branding. Dunia emotional-branding menata kembali kesalahan konsep terbesar dalam strategi branding, yaitu keyakinan bahwa branding berkaitan dengan pangsa pasar, padahal branding sesungguhnya berkaitan dengan pangsa pikiran dan emosi, yang berarti tekanan terbesar ada pada pencapaian heart and mind share produk yang bersangkutan. Berdasarkan empat pilar penyangga emotional-branding yaitu hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi dan visi, maka terminal akhir dari manajemen kampanye brand itu sendiri sebenarnya bukan pada fase brand lovely/brand satisfy, namun untuk mencapai brand religion. Brand religion adalah sebuah ultimate terminal posisi ketika core belief sudah menjadi suatu bangunan ikatan spiritual antara brand dan customer yang bersangkutan. Brand religion diperoleh bukan diperoleh karena brand tersebut ber-proposisi nilai fungsional, melainkan lebih karena emosional. Brand yang karismatik pada akhirnya tidak hanya menggabungkan penawaran value fungsional, emosional, bahkan intelektual, tetapi menjadi spritual value yang menjadi dasar bagi pembentukan ikatan spiritual antara brand itu dan pelanggan. Hal ini adalah suatu kemewahan tersendiri berupa customer involvement dan highest loyalty yang tak akan mungkin tertandingi oleh competitor manapun.
Strategi bersaing yang meliputi cost leadership, differentiaton dan focus pada prinsipnya merupakan road map dari proses awal dari branding menenun impian untuk meraih impian tertinggi manusia yaitu pemenuhan emosi sebagai relasi publik terkuat dalam wujud iklan maupun taktik komunikasi pemasarannya. Baik pilihan cost leadership, differentiation maupun focus akan diaplikasikan pada masing-masing level manajemen kampanye brand yang menghasilkan tiga tipologi dasar brand, yaitu functional brand, image brand dan experiental brand. Brand lovely/brand satisfy dapat ditemukan pada ketiga tipologi brand ini. Namun seperti yang jauh hari sudah diperingatkan kembali oleh revolusi diam-nya Peter Drucker, maka relasi terkuat ini harus berbahan bakar apa yang disebut sebagai emotional-branding. Dengan strategi bersaing yang sudah diisi oleh bahan bakar emotional-branding ini, maka tujuan manajemen kampanye brand bisa lebih terfokus pada satu tipologi inti yang mengartikulasikan ketiga tipologi brand yang sudah ada, yaitu Brand Religion, yang telah menjawab satu kunci dasar pertanyaan dari penggambaran fenomena economic borderless : yaitu bagaimana suatu brand dapat menggugah perasaan dan emosi konsumen, dimana menjadi hidup bagi masyarakat dan membentuk hubungan yang mendalam dan tahan lama. Emotional-branding menghasilkan karakter brand religion yang ber-diferensiasi kompetitif. Suatu brand yang telah berhasil mengisi ceruk suasana pergulatan pikiran, perasaan dan emosi dalam benak setiap kosumen pelanggannya.

Daftar Pustaka

Chandler, Michael, “Dream Weaving : Rahasia Menaklukkan Pesaing Dalam Bisnis”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2003.

Edersheim, Elizabeth Haas., “The Definitive Drucker”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.

Gobé, Marc, “Emotional Branding : Paradigma Baru Untuk Menghubungkan Merk Dengan Pelanggan”, PT. Erlangga, Jakarta, 2005.

Kuncoro, Mudrajad, “Strategi : Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif ?”, PT. Erlangga, Jakarta, 2006.

Kotler, Philip dan Waldemar Pfoertsch, “B2B Brand Management : Dengan Branding Membangun Keunggulan Dan Memenangi Kompetisi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006.

Kartajaya, Hermawan, “On Brand” – PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2004.

Kennedy, John E dan R.Dermawan Soemanagara, “Marketing Communication : Taktik Dan Strategi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006.

Sudarsono, Juwono, “Politik, Ekonomi Dan Strategi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Susanto,AB dan Himawan Wijanarko, “Power Branding : Membangun Brand Yang Legendaris”, PT.Mizan Pustaka, Bandung, 2004.

Winarno, Budi, “Globalisasi Dan Krisis Demokrasi”, MedPress, Yogyakarta, 2007.





GendhakaN

9 01 2009

Ini adalah parikan gendhakan favorit saya :

aku sedang mengikir, aku sedang mengikir

di dinding ada sebuah lubang, dibuat oleh seekor luwak

aku sedang berpikir, aku sedang berpikir

JIKA IA DIAMBIL ORANG,  MAKA KALI INI TERAKHIR MILIKKU SEPENUHNYA!!

endheng-rendheng dodol blendhung,

tak sawang seru larise.

andeng-andeng pinggir irung,

tak sawang seru manise.





In ThE WinG Of LovE’s VoW

17 12 2008

Seorang wanita yang telah disediakan dengan keindahan jiwa dan raganya merupakan sebuah kebenaran absolut pada saat yang sama antara membuka dan merahasiakannya. Aku hanya dapat mengertinya dengan cinta dan menyentuhnya dengan kebaikan absolut juga. Tuhan telah menciptakan dua raga dalam satu jiwa dimana pemisahan tidak menghasilkan apa-apa kecuali nyeri yang dalam. Oleh karena itu sepasang hati yang bersatu di tengah kesunyian tidak akan dipisahkan oleh kejayaan dan keabadian. “CINTA YANG DIBERSIHKAN OLEH AIR MATA AKAN MENYISAKAN KEMURNIAN DAN KEINDAHAN ABADI”.

* With Affection And Devotion *





ThE BlamE

17 12 2008

<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Papyrus; panose-1:3 7 5 2 6 5 2 3 2 5; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:script; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:3 0 0 0 1 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

From The Private Library Room, 17-12-2008, 21.00 :


Hidup ini merupakan serangkaian alternatif pilihan dimana kita harus menentukan mana yang terbaik dengan segala konsekwensi kekuatan dan kelemahan yang harus kita jalani. Dalam segala aspek kehidupan inilah semuanya itu harus dijalani dengan penuh kesabaran dan ikhlas. Sore tadi aku masih melihat sebarisan kerumunan awan hitam yang begitu konstannya menyelimuti sebagaian besar kegalauan perasaanku ketika berjumpa denganmu lagi. Kembangan senyummu tak lagi merekah seperti dulu. Rekahan senyum kesedihan beruntai dengan gemerlapnya cahaya sayu, yang melingkari kedua bola lara matamu. Aku tidak akan pernah bisa memeluk kuasa guliran sang waktu yang tidak pernah memberikan kepastian masa depan cinta kita berdua. Aku tahu dengan semua kesabaran, ketabahan dan keikhlasan yang kumiliki sampai tidak bersisa apa-apa lagi, maka dari balik bangunan harapanmu yang berdiri kokoh diantara balutan kebahagiaan dan kesedihanmu terhadapku, engkau selalu meyakinkan diriku setiap saat bahwa,” sekeras apapun batu karang kehidupan yang harus kita hancurkan wahai pecinta sejatiku, maka jiwaku akan selalu menjadi milikmu sampai tebaran senyum maut menerbangkan kita ke dalam telaga nirwana bermandikan cahaya matahari kita.

* With Affection And Devotion *





To The Woman Whom I’ll Love So Much In EternalitY

16 12 2008


st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Papyrus; panose-1:3 7 5 2 6 5 2 3 2 5; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:script; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:3 0 0 0 1 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

My Part of Life :

Kata-kata ini saya tulis menjelang kembali ke Indonesia sebagai student exchange. Sekedar ungkapan perasaan yg belum sempat tereksploitasi pada saatnya. Namun jika suatu saat if I’m fall in love lagi, pasti kualitas hubungannya nanti akan jauh lebih matang, dewasa dan bijaksana. Kesempatan itu akan selalu ada meskipun mungkin jalannya lebih sulit dan berat dari yg saya duga. With all of my affection and devotion, just dedicated on my next very real women. No one else, but U…… :

Pennsylvania, October 1996, the end of spring session, 16.00 PM :

Kebenaranmu akan bertemu kebenaranku dalam alam tanpa tepi yang menjelang lalu berpadu meramu diri bagaikan semerbak harum bunga, dimana setelah itu menjadi kebenaran tunggal dan abadi dalam kehidupan cinta kasih dan keindahan. Kekasihku, aku muncul dari hati lautan dan membubung tinggi bersama angin. ketika aku melihat sebuah ladang, maka aku turun dan merengkuh bunga dan pepohonan dengan satu juta cara untuk menyentuh bibirmu dengan jari lembutku. Wahai takdirku, Sepasang kekasih adalah bersatunya dua jiwa dalam cinta yang kuat demi tiadanya perpisahan. Bersatunya dua keagungan sehingga yang ketiga bisa dilahirkan ke dunia.





when A Man And A Women Fall In Love

14 12 2008

Pria mencintai wanita secara jasmani. Ia menerima yang ia dapat sejauh itu sesuai dengan seleranya. Wanita mencintai pria berdasarkan apa yang dapat wanita tersebut berikan sehingga faktor selera urusan nomer dua. Jadi seorang pria mencintai wanita dari apa yang dia lihat. Apa yang dilihat belum tentu sesuai dengan apa yang seharusnya layak didapatkan kepada pria tersebut. Sedangkan wanita menyukai apa yang akan mereka dapat. Bagi pria apa yang dilihat tidak identik sama dengan apa yang layak didapat. Pria lebih cenderung melihat wanita dari aspek kecantikan atau jasmani. Bagi wanita apa yang didapat tidak harus identik sama dengan apa yang layak diberikan atau yang dilihat kepadanya, karena wanita pada umumnya lebih memilih aspek uang dan status. JADI PRIA LEBIH MENCINTAI APA YANG DIA LIHAT DAN WANITA LEBIH MENCINTAI APA YANG DIBERIKAN/DIDAPAT KEPADANYA (SESUAI DENGAN APA YANG INGIN IA BERIKAN). cinta itu datang dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata permisi. Jadi kegagalan dalam bercinta bukan kiamat, karena orang yang benar-benar mencintai tidak akan pernah kehilangan cinta seluruhnya. Cinta bisa datang dan pergi berulang kali tanpa bisa dihitung. Terimalah dan nikmatilah cinta itu selagi layak untuk dinikmati, namun jangan anda membuang-buang waktu untuk meresahkan kepergiannya. Prinsip dasar dalam bercinta adalah : KETIKA PARA KEKASIH TELAH MEMADU KASIH, MAKA AKAN MEMADU KASIH LAGI DENGAN SETIAP MOMEN BERBEDA. INGATLAH SELALU BAHWA CINTA ITU BISA DATANG DAN PERGI BEGITU SAJA TANPA PERMISI DAN TANPA BISA BISA DIHITUNG PENGULANGANNYA. JANGAN PERNAH MERESAHKAN KEPERGIANNYA SEPERTI PERGANTIAN WAKTU DARI PAGI, SIANG, SORE DAN MALAM, LALU KEMBALI PAGI. SEKALI LAGI JANGAN PERNAH MERESAHKAN KEPERGIAN CINTA. LOVE WILL ALWAYS BRING US BACK IN EVERY DIFFERENT TASTE OF MOMENT THAT WE’VE PASSED.





Rumah Sunyi

14 12 2008

Who’s my last real woman ?

<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:”Book Antiqua”; panose-1:2 4 6 2 5 3 5 3 3 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} @font-face {font-family:”Bookman Old Style”; panose-1:2 5 6 4 5 5 5 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

With All Of My Affection And Devotion :

Kekasih Jiwaku,

Setiap hembusan angin waktu berlalu,

yang selalu menyisakan bara duka lara terpendam.

Suatu saat akan sirna terpejam,

Ketika pada suatu masa,

saat surya subuh menguak raganya dari balik rerimbunan awan jingga,

engkau menatap kembangan senyum pertamaku, sembari berkata :

“aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi demi sebuah kesunyian fatamorgana,

karena aku adalah peraduan jiwamu dalam setiap kenangan perjuangan, kebahagiaan dan penderitaanmu.

From the deepest of my heart feeling,

Banjar Bindu, Mambal, Ubud : 14-12-2008, 05.00 wita





Sejarah Pemikiran Madilog-Tan Malaka

8 12 2008

Intisari tulisan saya ini dimuat dalam edisi khusus Majalah Tempo Agustus 2008 tentang Tan Malaka. Berikut essai lengkap deskriptif tulisan ini ( ANY COMMENT/QUESTION ? ) :


st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:595.35pt 842.0pt; margin:56.7pt 56.7pt 56.7pt 56.7pt; mso-header-margin:42.55pt; mso-footer-margin:42.55pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} @page Section2 {size:595.35pt 842.0pt; margin:56.7pt 56.7pt 56.7pt 56.7pt; mso-header-margin:42.55pt; mso-footer-margin:42.55pt; mso-paper-source:0;} div.Section2 {page:Section2;} @page Section3 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section3 {page:Section3;} –>


/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

Madilog-Tan Malaka :

Sebuah Sinthesa Pergulatan Hasil Rantau Pemikiran

Seorang Pejuang Revisionis Revolusioner

Oleh :

Rizal A.Hidayat

Andrial_Rizal@yahoo.com


ABSTRAK

Tulisan ini mempresentasikan sebuah wacana philosophical-thinking salah satu putra terbaik yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, yaitu Tan Malaka. Sebuah sumbangan pemikiran yang lahir dari sinthesa hasil perantauannya di luar negeri, baik sebagai seorang mahasiswa, exsternir, agen komintern partai komunis, free agent maupun buronan para polisi rahasia di setiap negara yang dikunjunginya. Riwayat hidupnya yang begitu misterius, dramatis dan tragis terealisasikan dalam setiap perjalananan hidupnya yang penuh dengan dinamika perjuangan demi merevisi pola kehidupan bangsanya. Suatu pola kehidupan yang merefleksikan sebuah budaya bangsa yang terhegemonikan sedemikian rupa dalam bingkai feodalisme dan imperialisme. Sebuah refleksi bangsa feodal yang terimbas praktek imperialisme, dimana menghasilkan karakter bangsa yang bermental pasif, budak dan kontra revolusioner dalam hubungannya terhadap pencapaian kemerdekaan pada berbagai aspek kehidupan bangsa secara mandiri dalam politik dan ekonomi. Aspek pemaparan signifikan penulis adalah kelahiran Madilog sebagai sebuah karya monumental Tan Malaka, dilatar belakangi oleh spirit jiwa aliran filsafat idealisme dan materialisme di satu sisi, dan konsep rantau Minangkabau pada sisi lain. Ketiganya disinthesakan Tan Malaka sebagai the steps-guiding book berkarakteristik materialisme, dialektika dan logika ( Madilog ), untuk membangun kembali tatanan sosial dan budaya bangsa Indonesia agar menjadi sebuah bangsa yang merdeka 100% dalam segala aspek kehidupannya.

Kata Kunci :

Filsafat Idealisme, Filsafat Materialisme, Rantau Minangkabau, Materialisme, dialektika dan logika

Pendahuluan

Konstelasi kehidupan sosial-politik bangsa yang ter-imperialisasi dan ter-kolonialisasi, di situ di dalamnya termasuk pengalaman-pengalaman pribadi individu yang bersangkutan dalam melihat perlakuan kaum penjajah terhadap bangsanya sendiri, biasanya memberikan totalitas hidup yang bersangkutan untuk berusaha membebaskan bangsanya dari belenggu imperialisme melalui hasil karya analisa pemikiran-pemikirannya yang melampaui tren fenomena pemikiran-pemikiran yang berkembang pada masa tersebut. Apalagi jika yang bersangkutan berkesimpulan bahwa masa imperialisme menghasilkan efek negatif sosial dan budaya bangsanya berupa rendahnya kualitas berpikir dan bertindak kolektif secara science dan rasional untuk menjadi bangsa merdeka, dimana masih jauh dari harapan maupun cita-cita individu yang bersangkutan. Dan juga Untuk bagaimana menggunakan segenap akal, pikiran dan hidup bermasyarakat yang didasarkan pada logika berpikir ilmiah dalam scope their own problems-solving. Permasalahan yang kemudian muncul adalah ketika yang bersangkutan justru dihadapkan pada efek realitas kenyataan yang bertitik pangkal pada satu hal : terbentuknya antagonisme klas antara klas tuan dan pembantu atau klas penindas dan tertindas, dimana masing-masing saling bertarung untuk memperebutkan siapa yang lebih well-qualified sebagai rulling class. Jadi ada dua misi yang harus segera diselesaikannya , pertama memerdekan bangsanya dari cengkraman hegemoni imperialisme dan kolonialisme dan kedua, menghapus cara berpikir pasif-negatif akibat intimidasi psikologis yang sengaja di-create kaum penjajah agar alur berpikir logis bangsa tersebut tetap berada pada kredo berpikir tanpa eksplorasi rasionalitas empiris science yang dapat diuji kebenarannya sampai sedalam-dalamnya science itu berinheren secara mutualisma dalam realitas duniawi/alam kebendaan. Dan keduanya menurut yang bersangkutan dapat dimerdekakan secara revolusi sebagai planning dan action menuju bangsa/masyarakat yang bermaterialisme, berdialektika dan berlogika, sesuai dengan tuntutan dinamika realitas duniawi/alam kebendaan, yaitu mempertahankan aktualisasi berpikir dan bertindak secara pragmatis, dinamis dan fleksibel, namun juga tidak menafikan wilayah yang bersifat unreal matter seperti agama atau kepercayaan, sebagai sebuah variasi variabel kehidupan (an sich) di luar jangkauan pemikiran alam manusia, tetapi juga ikut berperan aktif dalam menyumbang penyelesaian masalah-masalah kehidupan manusia.

Dalam fenomena kenyataan seperti yang terangkum dalam pemaparan prolog dari penggambaran pemikiran di atas itulah, bangsa Indonesia pernah memiliki satu dari sekian banyak figur personalitas pejuang revolusi kemerdekaan Indonesia. Figur personalitas tersebut bernama Ibrahim, Ipie atau lebih dikenal oleh kaum pergerakan nasional dengan nama Tan Malaka. Uniknya, sosok Tan Malaka ini lebih banyak berpredikat sebagai tokoh misterius dan legendaris, dimana agresifitas eksis dari setengah kehidupan perjuangan dan pemikirannya akan revolusi kemerdekaan lebih banyak dilakukan di manca negara sampai kemunculannya kembali pada awal revolusi kemerdekaan di kediaman Ahmad Subarjo. Sebelumnya, mayoritas para elit politik Indonesia pada masa tersebut lebih banyak mengenal sepak terjang Tan Malaka dari berbagai macam versi cerita dari para tokoh tua dimana lebih cenderung menimbulkan tanda tanya tentang siapa sosok Tan Malaka sebenarnya dalam berbagai aspek, baik fisik, bertatap muka langsung, pergaulan maupun komunitas politik dalam arena politik Indonesia.

Pendeskripsian tulisan ini lebih memprioritaskan pada telaah inti pemikiran Tan Malaka dalam scope tinjauan dasar perspektif-perspektif dominan sebagai rahim utama Tan Malaka dalam merumuskan mainframe steps panduan solusi berbagai macam stereotype persoalan kehidupan masyarakat Indonesia. Steps panduan solusi ini tertuang dalam satu warisan karya maha besarnya yang dinamakan Madilog : Materialisme, Dialektika dan Logika. Sebuah mission dan sekaligus massage agung dari Madilog yang tetap diperjuangkan sampai akhir hayatnya adalah pakailah Madilog dalam menyelesaikan segala dinamika permasalahan duniawi/kebendaan (fuer mich), dengan mengkaji dan mengujinya terus menerus sampai sedalam-dalamnya dengan menggunakan perkakas science dalam batasan-batasannya yang bisa ditangkap oleh logika ilmiah sampai pencerahan kebenaran mutlak/sejati itu terlahir, sampai dengan tingkatan paling maksimal dari keseimbangan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan masyarakat itu sendiri.

Riwayat Singkat Kehidupan Tan Malaka

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir 2 Juni 1896 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat. Harry A.Poeze dalam bukunya yang berjudul Pergulatan Menuju Republik (1897-1825) lebih cenderung menggunakan tahun kelahiran 1897 dengan asumsi tahun 1903 Tan Malaka masuk sekolah rendah yang menerima murid pada umur 6 tahun. Sampai dengan tahun 1912, setelah lulus dari Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Guru di Bukit Tinggi berkualifikasi guru senior untuk anak-anak pribumi), dan atas kebaikan jasa guru yang sampai akhir hayatnya sangat dihormatinya, guru Horensma, tahun 1913-1919 Tan Malaka melanjutkan studinya di Rijks Kweekschool ( berkualifikasi diploma guru kepala untuk anak-anak Belanda/Eropa) di Haarlem, Nederland, Belanda.

Keberhasilan Revolusi 25 Oktober 1917 oleh Kaum Bolsyevik pimpinan Lenin atas rezim Tsar di Rusia telah mengubah sejarah kehidupan, perkembangan intelektual dan persepsi politik Tan Malaka selanjutnya dalam panggung revolusi Indonesia. Sebuah toko buku kecil di pojok jalan Jacobijnen menjadi saksi bisu bagaimana pemuda Tan Malaka lebih banyak menghabiskan waktu luangnya dengan membaca karya-karya Nietzhe, Hegel, Marx-Engels dan Kautzky. Pemikiran-pemikiranya lebih banyak dipengaruhi oleh para maestro aliran kiri yang pada saat itu banyak menjadi mainstream aliran dominan di kawasan Eropa. Puncaknya dengan peristiwa Revolusi Oktober 1917 yang membuktikan bahwa dominasi kapitalisme dunia dapat dikalahkan oleh revolusi sosialis dalam satu arus besar sejarah. Peristiwa ini sangat membekas dalam pikiran dan perasaan Tan Malaka muda, dan semakin meneguhkan tekad dan prinsipnya yang terbalut erat sebagai penganut marxisme dan bolshevisme sewaktu kembali ke Indonesia dengan memulai pekerjaan pertamannya sebagai guru sekolah bagi anak-anak buruh kontrak di perusahaan perkebunan Belanda Senembah My, Deli, Sumatra Timur. Di sanalah tempat eksploitasi tanah perkebunan dan buruh-buruh pribumi, kelas proletariat tertindas oleh para kapitalis Belanda. Dengan mata kepalanya sendiri, Tan Malaka melihat penghisapan besar-besaran eksploitasi kekayaan bumi nusantara, kelayakan hidup kelas proletar yang jauh dari kewajaran, legal prostitusi dan penguatan sentimen rasialisme yang dibangun kaum borjuasi Belanda. Dan tempat inilah pertama kalinya Tan Malaka memutuskan berpindah kelas dan haluan hidup dari sebuah kehidupan berfasilitas penuh kenyamanan, kemewahan dan ketenangan menuju konsekwensi pilihan hidup yang tidak menjanjikan apa-apa kecuali pengorbanan dan penderitaan, menjadi pejuang progresif, revolusioner dan militan menentang kapitalisme dengan bekal pengalaman dan pemahamannya akan nilai-nilai marxisme sebagai garis politik yang jelas dan terang, demi kebebasan dan kemerdekaan bangsanya.

Pada tahun 1921 Tan Malaka menyeberang ke Pulau Jawa, menuju “kota merah” yaitu Semarang. Berkat pengalaman Eropanya dan berbekal latar belakang pendidikan guru, Tan Malaka mendirikan sekolah rakyat bagi kaum proletar di bawah komando Partai Komunis Indonesia pimpinan Alimin, Semaun dan Darsono. Tahun 1921 sejalan dengan kesuksesannya memimpin sekolah tersebut dan lawatan Semaun ke Rusia, Tan Malaka diangkat sebagai ketua PKI yang berarti semakin melegitimasikan dirinya menjadi seorang Marxis revolusioner dalam medan politik Indonesia. Namun posisi sebagai ketua tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1922 Tan Malaka harus di-eksternir ke Nederland oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bukti keterlibatan PKI dalam serangkaian aksi buruh yang gencar di Jawa. Masa inilah yang menjadi kisah awal petualangan eksistensi perjuangan pemikiran politik dan hidup Tan Malaka dari satu negara ke negara lain sebagai buronan politik penguasa kolonial setempat. Di samping itu juga sebagai prolog kehidupan sosok Tan Malaka sebagai tokoh legendaris misterius yang akibat petualangannya itu menjadi tokoh yang paling sulit dicari keberadaannya oleh pemerintah kolonial setempat dengan berbagai nama samaran (Elias Fuentes, Ong Soon Lee, Ramli Husein, Cheng Kun Tat, Fliseo Rivera, Howard law, Esteban De La Rosa, Abdul Radjak, Tan Ho Seng, Tan Min Siong dan lain-lain), sampai kemunculannya kembali di panggung politik Indonesia di rumah Ahmad Subarjo (Agustus 1945) beberapa hari setelah Indonesia Merdeka (sebelumnya pada tahun 1942, Tan Malaka sudah kembali ke Indonesia via Singapura dan Medan, kemudian tinggal di Bayah, Banten Selatan). Singkat kata, dimana kolonialisme dan imperialisme berkembang yang berarti kapitalisme juga tumbuh di dalamnya, maka di situlah eksistensi Tan Malaka berada, dengan tidak melupakan kajian pemikiran akan keinginan kontribusinya yang begitu mendalam menjaga suasana idealisme track perjuangan pembebasan bangsanya keluar dari belenggu keterpurukan penjajahan demi kemerdekaan 100% bangsa -Indonesia.

Bagaimana perkaitan hubungan antara Tan Malaka dengan Pemberontakan PKI tahun 1926 (melalui keputusan Prambanan 1925) dan Madiun 1948? Dalam Pemberontakan I, Tan Malaka menganalisa bahwa pertama, PKI masih terlalu lemah dan kecil yang berarti belum mampu mengorganisir massa secara struktural disamping gerakan kegiatan partai terus diawasi secara ketat. Atas dasar pertimbangan inilah Tan Malaka berusaha keras untuk mencegah terjadinya pemberontakan tersebut. Pemberontakan tersebut dalam waktu singkat berhasil dilumpuhkan penguasa kolonial meskipun sempat meletus di Sumatera Barat dan Banten. Kedua, latar belakang pemberontakan masih didasarkan pada pertimbangan emosi akibat euforia revolusi Oktober 1917 dan dogmatisme ideologi yang diterapkan tanpa reserve dengan tidak mengkaji secara komprehensif fenomena situasi dan kondisi politik yang berkembang saat itu. Efek signifikan dari pemberontakan 1926 ini adalah dengan dibekukannya kegiatan partai. Kejadian yang sama terjadi pada pemberontakan kedua 1948, Tan Malaka menyebut pemberontakan tersebut sebagai The Second Putch of Prambanan. Kekurangan dukungan massa aksi yang lebih terkonsentrasi pada rekonsolidasi elemen-elemen perjuangan revolusi Indonesia akibat agresi militer Belanda I di samping menonjolnya kapasitas personal karisma Sukarno, Hatta dan Sjahrir menjadi sebab utama kegagalan pemberontakan menguasai pimpinan puncak pemerintahan nasional. Motivasi pemberontakan tersebut di samping karena dua faktor seperti yang terjadi pada tahun 1926, ditambah faktor ketiga, yaitu advonturisasi Musso-Amir Syarifudin yang memanfaatkan interest conflict antara Front Demokrasi Rakyat (FDR)-PKI yang ber-oposisi terhadap pemerintahan Hatta. Pengaruh Sukarno, Hatta dan Sjahrir masih terlalu kuat peranan politiknya bagi mobilisasi massa aksi. Dalam periode dua pemberontakan PKI ini justru posisi Tan Malaka sebenarnya berada di luar garis wilayah kekuasaan kepartaian. Hal ini lebih dinilai karena sikap bebas yang diperlihatkan Tan Malaka, baik dalam tingkah laku politik maupun pemikirannya, merupakan sumber penting dalam perselisihannya dengan kaum komunis di kemudian hari, apalagi kalau mereka dianggapnya terlalu dogmatis terhadap ideologi. Sebagaimana diketahui dia kemudian berpisah dengan orang-orang komunis.

Setelah pemberontakan PKI 1948, perkembangan karir politik Tan Malaka kurang begitu mengesankan seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini tidaklah begitu mengejutkan semenjak pada tahun 1946 Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan (PP) sebagai persatuan 141 organisasi underbow partai, serikat tani, buruh, pemuda, wanita dan laskar tentara yang terkenal dengan prinsip “kemerdekaan 100% melalui diplomasi bambu runcing (pengertiannya adalah perjuangan bersenjata) dan tidak ada kompromi (jalan perundingan) dengan penjajah”. Prinsip ini bisa dikatakan sangat kontras dengan perjuangan pemerintah waktu itu yang lebih mengedepankan diplomasi perundingan bilateral. Oleh karena itu bisa disimpulkan kebijakan yang ditempuh PP lebih diprioritaskan lewat jalan oposisi. Efek yang ditimbulkan dari pembentukan PP adalah dengan ditangkapnya tanpa alasan yang jelas para pucuk pimpinannya termasuk Tan Malaka (17 Maret 1946) oleh pemerintah Sjahrir yang dibalas dengan penculikan Sjahrir 25 Juni 1946. Tan Malaka-pun meskipun di kemudian hari tidak terbukti sebagai dalang penculikan tersebut akhirnya dipenjarakan oleh pemerintah yang sama (dibebaskan 16 September 1948). Serangkaian peristiwa penangkapan dan penculikan ini semakin memperjelas keterlibatan pemerintah pada waktu itu agar jangan sampai politik diplomasi terhambat di tengah jalan ( peristiwa-peristiwa tersebut terjadi pada rentang masa perjanjian linggarjati 1946 dan Renville 1948). Setelah menghirup udara segar kembali revolusi Indonesia, Tan Malaka mensponsori pembentukan partai Murba sebagai hasil kelanjutan PP melalui fusi partai rakyat, buruh merdeka dan rakyat jelata. Meskipun elemen-elemen pembentuk dasar partai bercorak komunis, namun Murba anti komunis/PKI.

Agresi militer Belanda kedua menjadi epilog kehidupan karir politik Tan Malaka. Suasana pertempuran gerilya melawan agresi militer Belanda di setiap daerah pedalaman Jawa termasuk Jawa timur dimana tempat Tan Malaka menyingkir juga mengalami hal yang sama. Di Jawa Timur seputar Gunung Wilis Tan Malaka masih sempat memberikan kursus kaderisasi para pemuda dan mengadakan siaran-siaran yang dikeluarkan oleh markas Murba Terpendam, seperti penyebaran pamflet-pamflet secara beranting. Suasana politik pada sesi tersebut masih diwarnai oleh persaingan dan sentimen antar faksi diantara berbagai patron politik aliran seperti PKI-Musso, Hizbullah, Sabilillah, pengikut Tan Malaka dan kelompok-kelompok pasukan TNI yang berkeliaran di seputar pegunungan. Kebijakan politik pemerintah pada waktu masih mengedepankan jalan diplomasi perundingan dengan mentaati resolusi Dewan Keamanan PBB. Tan Malaka yang masih memaklumkan perjuangan bersenjatanya ditangkap di daerah Kediri dan dieksekusi tembak mati begitu saja oleh Divisi IV TNI. Tepian Sungai Brantas, desa Selo Panggung, lembah Bengawan Solo menjadi saksi bisu makam abadi seorang revisionis revolusioner yang menjadi korban revolusi Indonesia yang memakan anak kandung-nya sendiri.

Tinjauan Dasar Pemikiran:

A. Dialektika Hegel dan Materialisme Dialektika Marx-Engels

Jauh sebelum pemikiran Madilog tertuang dalam realisasinya, di Eropa ketika Tan Malaka melanjutkan studinya, pada masa tersebut terjadi pertentangan pemikiran antara dua kubu aliran filsafat, yaitu filsafat idealisme yang di-creator oleh sang professor professorum, Hegel, dan filsafat materialisme yang dipelopori dua sejoli Marx-Engels. Namun bagi Tan Malaka, masing-masing kubu filsafat ini memberi kontribusi signifikan terhadap segala kajian pemikiran yang tertuang dalam Madilog. Kontribusi signifikan pertama: dari Hegel (George Wilhelm Friedrich Hegel, 1770-1831), terkenal dengan filsafat dialektika-nya, yang dipergunakannya untuk memahami sejarah. Sejarah merupakan satu proses, dan dalam hubungan ini Hegel berpendapat bahwa proses sejarah itu tidak lain daripada perkembangan terus menerus dari apa yang disebutnya idea atau nan mutlak. Idea atau nan mutlak tadi adalah kebenaran terakhir, kebenaran yang sesungguhnya, yang tidak dapat diragukan lagi. Kebenaran ini merupakan suatu kebulatan, melingkupi segala-galanya, dan tidak dapat merupakan sesuatu yang terpisah (Deliar Noer, 2001:198). Pemikiran Hegel inilah yang lebih dikenal sebagai cara berpikir dialektika melalui tahap thesis, antithesis dan synthesis, dan ketiganya tidak dapat dipisah, satu kesatuan. Cara berpikir dialektika menekankan pada satu asas pemikiran bahwa cita pikiran lebih penting dari matter (benda) sehingga kedudukannya lebih utama dari keberadaan matter itu sendiri. Dialektika Hegel kemudian berinteraksi dengan bagaimana keterbatasan panca-indera manusia yang berusaha menangkap kebenaran sebagai problem solving terhadap segala problematika yang terjadi dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun sosial. Hegel berpendapat bahwa apa yang dianggap oleh manusia sebagai kebenaran sebenarnya hanya merupakan sebagian saja dari kebenaran itu. Kebenaran dalam keseluruhannya hanya dapat ditangkap oleh pikiran manusia melalui proses dialektik (proses dari thesis, melalui antithesis menuju ke synthesis, kemudian mulai dari permulaan dan begitu seterusnya) sampai kebenaran yang sempurna tertangkap. Sekali kebenaran yang menyeluruh itu dinamakannya Idee Mutlak (Absolute Idea) tertangkap. Sekaligus gerakan dialektis berakhir. Dalam menjelaskan proses dialektik Hegel mengatakan bahwa proses ini dilandasi oleh dua gagasan; pertama, gagasan bahwa semua berkembang dan terus-menerus berubah; kedua, gagasan bahwa semua mempunyai hubungan satu sama lain. Oleh karena semua bergerak dan berubah maka synthesis lambat laun berubah menjadi thesis dan proses dialektik mulai lagi dari permulaan. Setiap kali synthesis baru tertangkap oleh pikiran manusia, ia berada dalam taraf yang lebih tinggi dan lebih lengkap unsur kebenarannya. Proses ini terus berlangsung dalam pikiran manusia sampai ketika tercapai synthesis yang paling tinggi dan paling sempurna unsur kebenarannya. Pada saat itulah pikiran manusia telah berhasil menangkap kebenaran seluruhnya yang oleh Hegel dinamakan Idee Mutlak. Jadi, boleh dikatakan bahwa dialektik adalah gerak maju dari taraf rendah ke taraf yang lebih tingi dengan suatu irama pertentangan dan persatuan. Dengan perkataan lain, dialektik mencakup suatu perulangan dari antagonisme yang disusul oleh penyesuaian (Miriam Budiardjo, 2000:79-80).

Apabila Hegel mengakhiri proses dialektika-nya dengan absolute Idea (an sich-unreality/transeden), maka Marx lebih mengutamakan pengembaraan keseimbangan inheren antara ide mutlak dalam lingkungan matter (fuer mich-immanen) pada ranah kelas sosial. Menurut Marx, seperti yang dikatakannya dalam Basic Writings on Politics and Philosophy, bahwa masyarakat terdiri atas kelas-kelas bukan sekumpulan individu. Yang dimaksud dengan kelas ialah kelompok orang yang memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi. Karena mereka memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi, mereka mengembangkan pandangan yang khas terhadap diri mereka dan dunia sekitarnya. Yang terpenting bagi manusia adalah pekerjaannya, karena pekerjaan itulah yang sebagian terbesar membentuk wawasannya terhadap dunia sekitar. Seorang anggota masyarakat tidak mengembangkan dirinya secara individual dalam situasi vakum, melainkan dari dan melalui kelas ia tergolong. Individu tidak membentuk nilai-nilai mereka, tidak pula gagasan-gagasan mereka tentang politik ataupun apa saja yang menjadi kebutuhan mereka. Akan tetapi gabungan dari individu itulah sebagai kelas yang membentuk nilai, gagasan dan kebutuhan. Seseorang mungkin menyumbang pada pembentukan nilai dan gagasan, tetapi semua orang lain juga demikian. Yang terjadi adalah setiap anggota masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh kelas mana ia tergolong daripada sebaliknya. Berdasarkan pengalaman dari Eropa, Marx mengajukan suatu teori dialektikamaterialisme yang berisi, semua sejarah merupakan pergantian dominasi dari satu kelas terhadap kelas lain. Dominasi suatu kelas berakhir dengan revolusi terhadap kelas yang dominan itu. Kemudian muncul kelas baru yang mendominasi kelas lain, demikian seterusnya (Ramlan Surbakti, 1992:30-31).

B. Rantau Minangkabau

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Tan Malaka berasal dari Minangkabau. Sesuai dengan adat dan falsafah Minangkabau tentang konsep konflik dan rantau (Alfian, 1992:157), maka konflik sebagai esensiil buat mencapai dan mempertahankan perpaduan/integrasi masyarakat. Pergi merantau, menurut visi falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya buat mengenal dunia luar yang luas di mana mereka akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang. Pada waktu yang sama, karena berada di luar alam Minangkabau si perantau akan mampu melihat diri dan perananannya secara lebih jelas dalam konteks kepulangannya nanti. Dengan lain perkataan, si perantau betapa jauh pun dia pergi pada suatu waktu akan kembali ke alamnya dengan segala bawaannya, harta ataupun ilmu. Dia, karena sudah luas pengetahuannya, diharapkan akan memainkan peranan sebagai juru penerang atau guru atau ulama sehingga masyarakatnya bisa menerima apa yang baik dari rantau dan melihat, lalu membuang apa yang buruk dalam alam mereka sendiri. Di sini jelas terlihat bahwa pengertian rantau bukan semata mencari uang dan harta, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Ditarik lebih jauh, di samping merantau secara fisik, secara mental (pemikiran), seseorang (dalam hal ini cendekiawan) juga merantau. Konflik pada dasarnya merupakan suatu manifestasi perlawanan terhadap jiwa masyarakat Minangkabau yang pada umumnya anti penindasan, kemiskinan dan kemapanan. Mereka selalu berusaha melakukan perlawanan terhadap keadaan-keadaan demikian. Hal ini sebenarnya dapat ditarik sebuah benang merah konklusi bahwa pada prinsipnya masyarakat Minangkabau berjiwa dinamis. Perubahan-perubahan selalu dilakukan agar tercapainya sinthesis kehidupan dalam berbagai aspek yang diharapkan bersama. Jika berkaca pada pemikiran filsafat barat, maka proses perubahan yang dilakukan dengan cara ini oleh Hegel disebut dengan dialektika, dimana suatu keadaan yang ada (thesa) menimbulkan antithesa. Sehingga timbul suatu konflik. Setiap konflik akan mencari jalan penyelesaiannya sendiri dalam bentuk sinthesa. Kebanyakan orang Minang berwatak sedemikian. Salah satu landasan berpikir orang Minang adalah dialektika itu (Amir M.S., 2007:78). Landasan berpikir utama yang lain adalah prinsip logika (alue patuik). Alue (alur atau jalur jalan yang benar) dan patuik (pantas, sesuai atau masuk akal) berarti orang Minang harus dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Prinsip logika (alue patuik) ini menuntun masyarakat Minangkabau untuk selalu berbuat sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati, atau melakukan sesuatu sesuai yang telah direncanakan sebelumnya. Adat Minang itu menuntun orang memakai logika. Lebih jauh lagi bahwa dalam koridor sikap, pikiran dan tindakan, masyarakat Minang harus mendasarkan dirinya dalam alur logika. Berpikir, bersikap dan bertindak dalam alur logika ini berarti juga membutuhkan proses merantau/mengembara dalam mengeksplorasi sedalam-dalamnya mental-spritual yang sejalan dengan alam logika ilmiah (fuer mich). Dengan mengkondisikan posisi adat dan falsafah Minangkabau berdasarkan prinsip rantau yang terwujud ke dalam asas dialektika dan logika ini maka tidaklah heran apabila jauh sebelum masyarakat Minangkabau bersentuhan langsung dengan Islam-pun, adat Minangkabau adalah adat yang praktis, tidak mengenal ajaran kosmologi-okultisme, atau juga ajaran spritisme-Animisme apapun yang membutuhkan kesadaran pemahaman di luar logika ilmiah (an sich).

Pembahasan

A. Struktur dan Esensi Madilog

Madilog ditulis di Rawajati, seputar daerah kalibata, cililitan, Jakarta. Total dikerjakan selama 259 hari (sempat berhenti 15 hari), 8 bulan, 720 jam semenjak tanggal 15 Juli 1942 s/d 30 Maret 1943, rata-rata 3 jam per hari. Ditulis dalam sebuah gubug reyot dengan suasana penderitaan, kemiskinan dan kesepian yang eksterm di bawah suasana imperialisme Jepang.

Madilog terdiri dari delapan bab. Tujuh bab utama dengan bab awal yang membahas logika mistika sebagai latar belakang permasalahan mengapa Madilog diciptakan. Bab dua memaparkan bagaimana kelahiran logika dan dialektika science sebagai hasil pertentangan kubu filsafat idealis dan materialis, telah memodifikasi rasionalisasi filsafat berpikir dalam menginvestigasi hakekat awal terdalam keberadaan segala sesuatu yang ada di dunia.

Pokok bahasan tentang materialisme dijabarkan melalui paparan materi-materi science sebagai sarana untuk keluar dari lingkungan logika mistika. Yang dimaksud dengan logika mistika dalam hal ini adalah sebuah cara berpikir yang mengutamakan kepercayaan atas kemampuan individu, roh atau benda yang di dalamnya mengandung kekuatan supranatural untuk merubah makrokosmos dan mikrokosmos. Dengan science, setiap perubahan dalam keduanya dapat diamati, dianalisa dan diuji keempirisannya, dimana menuntut kreatifitas manusia untuk bereksplorasi sedalam-dalamnya sampai dengan batas jangkauan terjauh science. Penjelasan mengenai dialektika dan logika dibahas dalam bab kelima dan keenam. Apabila kita secara khusus membaca detail uraian Madilog yang membahas segala pokok pemaparan materialisme, dialektika dan logika, maka seperti kita mempelajari buku teks pelajaran logika berwujud ilmu alamiah dasar. Hal ini tidak begitu mengagetkan karena misi utama yang diemban oleh Tan Malaka melalui Madilog adalah penekanan keterarahan rasionalitas kenyataan untuk menguji realitas bendawi dengan menggunakan perkakas science. Bab ketujuh berisi tentang bagaimana kristalisasi elemen pembentuk Madilog meleburkan dirinya dalam memandang persoalan-persoalan ontologis yang selalu menjadi kajian perdebatan dalam kehidupan umat manusia. Pada akhirnya Madilog ditutup dengan satu bab sisa (bab delapan) yang lebih menitik beratkan pada outcome utopia keadaan masyarakat Indonesia yang ber-Madilog di masa mendatang.

Pada esensinya pemikiran-pemikiran dan perjuangan Tan Malaka terpusat kepada tujuan untuk memerdekakan bangsanya dan sekaligus merombaknya secara total dan drastis dalam segala bidang-politik, ekonomi, sosial dan budaya. Meskipun mengikuti paham Marxisme dan penganut bolsyevik, Tan Malaka berprinsip teguh pada satu ontologis pemikiran bahwa Marxisme bukan kaji hafalan (dogma) melainkan petunjuk untuk revolusi. Oleh karena itu seorang Marxis perlu bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain sangat ditekankannya pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam kondisi atau faktor sosial satu masyarakat dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain. Kemampuan melihat perbedaan dalam membandingkan kondisi atau faktor sosial masyarakat memerlukan materi-materi support yang bisa diamati eksistensi keberadaannya fisiknya. Realitas empirisnya bisa dirasakan dan diukur kevalidannya dengan proses berpikir dialektis logis, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Hal ini menjadikan setiap manusia menjunjung tinggi kebebasan berpikir, bersikap dan bertindak dalam mendukung kekritisannya itu.

Materialisme sebenarnya berarti pandangan yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah materi dan segala apa yang ada mesti berasal dari materi. Menurut materialisme semula tidak ada roh, dan tentu tidak ada Allah. Dan itulah memang anggapan filosofis paling dasar Marxisme-Leninisme. Lawan materialisme adalah metafisika dan spiritualisme yang mengakui adanya dimensi rohani tidak merupakan “produk materi”. Dialektika adalah “cara berpikir berlainan”, cara berpikir timbal balik. Semua masalah mempunyai dua sudut yang bagi pandangan yang tidak dialektis kelihatan bertentangan, sedangkan bagi pandangan dialektis pertentangan itu justru menjadi motor kemajuan. Orang yang hanya berpikir logis akan menjawab semua pertanyaan “dengan ya dan tidak”. Sedangkan orang yang berpikir secara dialektis sadar bahwa kadang-kadang pertanyaan perlu dijawab baik dengan “ya” maupun “tidak”. Mengapa dialektika begitu penting bagi Tan Malaka? Karena dialektika dianggap memungkinkan materialisme untuk mengatasi kesulitan paling serius yang dihadapinya, yaitu menjelaskan bagaimana dari sesuatu yang tingkat keberadaannya rendah, yaitu materi mati, bisa berkembang bentuk-bentuk kompleks organisme hidup dan akhirnya manusia yang bahkan bisa berpikir. Dialektika menjelaskan dengan dua hukumnya, yaitu “negasi atas negasi” atau “pembatalan atas pembatalan”, dan perubahan kuantitas terjadi perubahan kualitas atau loncatan dialektis. Yang pertama mengatakan bahwa dalam materi terdapat pertentangan-pertentangan yang mendorong ke arah perubahan dan kemajuan; Yang kedua menjelaskan bagaimana dari perubahan yang semata-mata kuantitatif (misalnya molekul organis menjadi semakin besar) terjadi perubahan kualitatif (misalnya sel lebih besar itu lalu mendadak bernyawa padahal sebelumnya tidak). Menurut Tan Malaka berpikir secara dialektis tidak boleh berarti melepaskan logika. Logika sebagai aturan tentang cara berpikir yang masuk akal tetap berlaku. Berpikir logis secara sederhana berarti bahwa “persoalan pasti dijawab dengan pasti pula”. Dialektika berlaku bagi pengetahuan dalam wilayah besar, tetapi untuk wilayah mikro orang tetap harus berpikir logis (Frants Magnis-Suseno, 2003:216-220). Logika tidak dibatalkan oleh dialektika, melainkan tetap berlaku dalam dimensi mikro. Tan Malaka justru menunjukkan bahwa pemikiran logis dengan paham dasar dialektis, membebaskan ilmu pengetahuan untuk mencapai potensialitas yang sebenarnya (Ibid, Kompas:27-11-2000).

Membaca materialisme Tan Malaka harus diakui adanya ciri-ciri khusus dalam hal pembacaan konteks Indonesia (ketimuran) yang membedakannya dengan materialisme barat yang telah mengakar dalam sejarah pemikiran filsafat semenjak Yunani antik sampai kontemporer (kompas, 29-03-2008) Dalam semangat berpikir pada konteks inilah materialisme Tan Malaka harus ditafsirkan secara spesifik. Dalam otobiografi-nya Tan Malaka menyatakan bagaimana ia tidak mau menjadi beo pengunyah dogma, menerima mentah-mentah perkataan feodal, borjuis ataupun proletar dalam arti sama sifat, hasrat dan sejarahnya dengan feodal dan borjuis Eropa. Menelan saja semua putusan yang diambil oleh pemikir revolusi di Rusia tahun 1917 ataupun oleh Marx pada pertengahan abad ke-19 dan melaksanakan putusan Marx dan Lenin di tempat dan waktu berlainan seperti di Indonesia dengan tanpa mengupas, menguji dan menimbang keadaan di Indonesia, berarti membebek semata. Marxisme bukan kaji hapalan (dogma), melainkan suatu petunjuk untuk aksi revolusioner menurut tanah kenyataan (Harry Prabowo, 2002:58). Bagi Tan Malaka, yang dimaksud dengan materialisme, bukan pertama-tama pandangan filosofis bahwa segala yang ada itu materi atau berasal dari materi, melainkan keterarahan perhatian manusia pada kenyataan daripada khayalan dan takhayul. Daripada mencari penyebab segala kejadian di alam gaib, carilah di kenyataan bendawi sendiri. Selidikilah realitas material dan itu berarti pakailah ilmu pengetahuan(science)! Materialisme berarti mempelajari realitas bendawi dengan mempergunakan pendekatan ilmiah (Ibid).

Lahir dalam suasana pertentangan dua aliran filsafat, justru Madilog telah mengkolaborasi dua konflik pemikiran antara Hegel dan Marx-Engels yang cocok untuk mendefinisikan sekaligus menganalisa akar persoalan-persoalan bangsa Indonesia fase Madilog dikembangkan. Madilog lahir dari proses hukum dialektika yang mana telah melalui tahap thesis dan anthesis Hegel dan Marx-Engels. Jika Sukarno menyatakan Marhaenisme merupakan Marxisme bercorak keindonesiaan, maka tidak salah apabila Tan Malaka menggelar pokok-pokok pemikiran filsafat kebangsaan Indonesia yang tertuang dalam Madilog. Meskipun Tan Malaka semenjak awal menyatakan bahwa Madilog bukan kaji hafalan yang menjadikannya bernaung pada wilayah dogma saja, akan tetapi sekali lagi Madilog adalah sebuah panduan jalan atau petunjuk pragmatis bagi bangsa Indonesia menuju sebuah simtom pencerahan solusi kebangsaan dari logika mistika kepada logika science yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, inilah real mission Madilog yang memotivasi Tan Malaka untuk terus berjuang merubah pola pikir bangsanya agar merdeka 100% seperti harapannya. Secara eksplisit jelas bahwa cita-cita Tan Malaka adalah membawa nilai-nilai Madilog ke dalam setiap pergerakan perjuangan bangsa Indonesia agar benar-benar mandiri dalam bersikap dan bertindak menuju kemerdekaan politik dan ekonomi sebagai bangsa yang berdaulat, adil dan makmur, yang tidak begitu saja menerima segala pengetahuan, bantuan materi dan keuangan dari negara-negara barat yang mayoritas (jika tidak ingin dikatakan mutlak) tetap berusaha menanamkan virus kolonialisme dan imperialisme.

Madilog berawal dari kegelisahan Tan Malaka dalam memahami nasib bangsanya sebagai resultan feodalisme, kolonialisme dan kepercayaan terhadap takhayul yang bercampur ilmu akhirat yang tanggung. Madilog memberi jalan keluar dengan memperkenalkan dialektika-materialisme dalam tradisi keilmuan barat dengan menonjolkan penguatan logika sebagai tahap awal. Pada dasarnya Madilog berusaha menawarkan satu kerangka pikir modern sebagai alat pembongkar (dekonstruksi dan rekonstruksi) bongkahan keterbelakangan intelektual masyarakat Indonesia pada masa itu (Op.Cit, 2008) Oleh karena itu kemana dan dimanapun Tan Malaka bergerak dalam dinamika perjuangan kemerdekaan Indonesia, semangat Madilog selalu tinggal dalam segala pencapaian visi hidup dan pemikiran Tan Malaka. Bagi Tan Malaka, sekalipun Marxisme merupakan pusaka barat sebagai fondasi dasar bangunan Madilog, namun yang penting dari marxisme adalah penerapan metode Marx berpikir, bukan menjalankan hasilnya cara berpikir yang harus dipahami dalam kerangka teoritis dan penerapannya amat bergantung pada kondisi masyarakat dimana ia tinggal. Bahwa filsafat materialisme barat menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari matter(benda), maka sesuatu yang un matter (bukan benda) dan tidak masuk di akal/tidak rasional walaupun secara fakta ada akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak ilmiah dan harus ditolak, bagi Tan Malaka dasar dan aksioma filsafat materialisme barat ini tidak cocok diterapkan di Indonesia. Menurut Tan Malaka sekalipun sesuatu belum dapat diterangkan tapi kalau fakta sebagai lantainya ilmu bukti itu ada secara kongkrit, maka ia bersedia menerimanya sebagai bukti. Oleh karena itu materialisme dalam pandangan Tan Malaka merupakan suatu cara berpikir yang realistis, pragmatis dan fleksibel. Cara berpikir realistis, pragmatis dan fleksibel ini di-proven ketika Madilog harus menyentuh wilayah agama dan kepercayaan yang dalam filsafat materialisme barat masuk pada frame un matter. Tan Malaka dari awal sudah menjelaskan bahwa ia mengakui agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang un matter dan di luar jangkauan Madilog, tetapi dengan jalan tak langsung Madilog dapat menerangkan agama dan kepercayaan ini seperti obor listrik yang berdiri di luar, dan tidak memasuki matter itu seluruhnya, jadi masyarakat Indonesia tidak mungkin Atheis :

“Madilog tidak bisa berlaku langsung atas kepercayaan, karena kepercayaan itu kekurangan alat melangkah, ialah matter (benda). Tetapi dengan jalan memutar, tak langusng, Madilog bisa menerangkan kepercayaan itu ialah sebagai obor listrik yang berdiri di luar, yang tidak memasuki barang itu seluruhnya”.

(Tan Malaka, Madilog, 2000:369)

Berdasarkan Madilog, penerapan filsafat materialisme Indonesia tetap reserve menerima un matter factor sebatas masih dalam ranah science, tetapi tidak menafikan un matter itu di luar pembuktikan science karena faktanya sendiri sebagai lantainya ilmu bukti itu ada. Pada final term philosophy thinking inilah yang menjadikannya menjadi pejuang revisionis revolusioner di tengah-tengah benturan resultansi feodalisme, kolonialisme dan logika mistika (kepercayaan terhadap takhayul).

B. Madilog Dalam Konteks Implikasi Hasil Rantau

Keprogresifan perjuangan Tan Malaka ini pada hakekatnya memiliki empat sense of extreme urgency massage perjuangan yang ditempuhnya. Pertama, perjuangan seorang intelektual praksis dimana wilayah pemikiran Tan Malaka yang tertuang dalam Madilog bertemu dalam medan operasinya dalam wilayah bangsanya sendiri, dan bukan wilayah/negara lain yang selama ini Tan Malaka pernah terlibat di dalamnya dengan berbagai macam nama samaran. Dalam konteks track perjuangan ini, Tan Malaka membuktikan dirinya bukan seorang intelektualitas salon yang hanya sebatas mencari solusi permasalahan secara ilmiah hanya dalam lingkungan kebesaran dan keindahan ruang kerja saja. Kisah kehidupan perjuangannya yang terdokumentasi dalam otobiografi-nya berjudul Dari Penjara ke Penjara (I-III) menunjukkan bahwa dirinya berani keluar memasuki wilayah realitas pengetahuan dengan berbagai macam resiko yang harus ditanggung sebagai seorang praksis revolusioner: selalu berada pada situasi pergulatan pemikiran dan tindakan dalam arena konflik ideologi, cara berpikir dan visi perjuangan. Dengan mempelajari dialektika Hegel yang diramu oleh materialisme Marx yang melahirkan materialisme dialektika, maka di sini Tan Malaka menyimpulkan bahwa pertentangan kelas yang ada di Indonesia tidak hanya sekedar antara kelas penjajah vs kelas terjajah, namun lebih dari itu, bahwa pertentangan kelas yang sebenarnya justru terkristalisasi menjadi satu kelas sosial antara yang bermental feodal plus mental budak vs science society dalam wujud borjuasi class. Sejarah adalah pergantian dominasi dari kelas yang satu ke kelas yang lain. Dalam konteks inilah Tan Malaka ingin merubah kelas sosial masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang dinamis, kritis, realistis, pragmatis dan fleksibel berdasarkan logika ilmiah yang empiris sampai sedalam-dalamnya, sebagaimana tercermin dalam karakter masyarakat Minangkabau yang dinamis dan anti parokhial.

Kedua, identitas budaya Minangkabau yang tercermin dalam cara berpikir dialektis dengan pola alue patuik (segala sesuatu berproses sesuai dengan tempat dan aturan: logis) telah membawa Tan Malaka menemukan sebuah budaya yang sama dalam cara berpikir meskipun pada ranah berbeda ketika dia tiba pertama kali Netherland-Belanda untuk tugas belajar. Dan keduanya dipertemukan dalam satu peristiwa bersejarah tentang kekalahan kapitalisme pada sebuah arus besar revolusi sosial sebagai dampak dari teori kelas Marx yang inheren pada dua variabel utamanya, Materialism Dialectika dan Historical Materialism. Latar belakang argumen ini yang pada akhirnya men-sinthesa pergulatan wawasan berpikir dan karakter mental Tan Malaka menjadi seorang manusia yang dinamis, anti dogmatis, anti parokhial dan mempertahankan kebebasan berpikir lepas dari ruang dan waktu. Atas dasar inilah maka visi Madilog yang diperjuangkan Tan Malaka sebenarnya adalah suatu petunjuk jalan yang realistis, pragmatis dan fleksibel. Sekali lagi Madilog bukan kaji hafalan atau dogma yang jika itu ditelan mentah-mentah akan menjadi sebuah ideologi :

“Madilog saya maksudkan terutama ialah cara berpikir, bukanlah satu weltanschauung, pemandangan dunia, walaupun cara berpikir dan pemandangan dunia atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara orang berpikir itu kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya kita dapat tahu dengan cara dengan metode apa dia sampai ke filsafat itu.”

(Tan Malaka, Madilog, 2000:19)

Ketiga, konsistensi Tan Malaka dalam memegang erat konsep rantau budaya Minangkabau. Kekonsistenan konsep rantau ini baik secara fisik maupun mental membuat diri Tan Malaka selalu siap memasuki setiap dunia pergolakan yang baginya di setiap ruang dan waktu pasti akan menemukan sinthesa-nya sendiri-sendiri melalui proses dialektika-logika. Oleh karena itu esensi pemikiran Tan Malaka melalui Madilog adalah untuk merubah sistem yang mempengaruhi cara berpikir bangsanya sebagai resultansi dari praktek kapitalis-kolonialis beraroma feodalisme. Madilog adalah sebuah petunjuk jalan untuk keluar dari feodalisme. Bagi Tan Malaka feodalisme itulah yang menjadi biang keladi utama yang telah menyebabkan bangsanya memiliki riwayat perbudakan yang begitu lama dan memilukan hati itu. Mengapa? Sebab, feodalisme itu telah melahirkan dan menyuburkan apa yang disebutnya mental budak di dalam diri bangsanya. Mental budak itu mendorong orang berpikir pasif, bahkan mungkin takut berpikir, dan itu menjadikan mereka pasrah atau mudah menyerah kepada nasib yang merundungnya. Oleh karena malas atau tidak berani berpikir, orang bermental budak itu mudah percaya kepada hal-hal yang tidak masuk akal, takhyul, yang akan mempermudah dirinya dieksploitasikan oleh orang-orang yang berpikir aktif dan rasional. Itulah sebabnya mereka mudah dijajah dan diperbudak (Poeze, 1988:XXVI). Bagi Tan Malaka yang notabene merupakan personifikasi identitas budaya Minangkabau, mental budak ini sangat bertentangan dengan prinsip dialektika dan alue patuik (logika). Terlihat jelas bagaimana implikasi cara berpikir adat Minangkabau dijelaskan Tan Malaka dalam Madilog :

“Tetapi sebelumnya kita memilih cara berpikir mana yang terutama kita pakai, dialektikakah atau logikakah, maka haruslah lebih dulu kita bertanya kepada diri sendiri, apakah persoalan itu berdasarkan matter, bendakah atau idea, bayangan, fikiran semata-mata, roh semata-mata.

Kalau persoalan itu berdasar atas benda, barang yang nyata yang bisa diperiksa dengan panca indera anggota yang lima, boleh diperalamkan, diexperimentkan, barulah persoalan itu kita taruh dibawah pemeriksaan kita. Segala bukti yang nyata yang bisa diperalamkan itulah yang akan menjadi premisse, menjadi lantainya hukum atau paham yang kita cari itu. Sebab itulah kita namakan Madilog karena berdasar atau matter, benda. Dari penjuru matter inilah kita memandang. Inilah buat kita yang jadi lantai, yang menjadi tingkat pertama dalam sesuatu penyelidikan. Boleh jadi resultaat atau hasil penyelidikan itu tidak mencukupi atau salah sama sekali. Tetapi hal ini tidak disebabkan salahnya cara berpikir. Boleh jadi kepala kita sedang pusing atau bukti belum semuanya terkumpul atau akhirnya kita salah memakai cara tadi”.

(Tan Malaka, Madilog, 2000:20-21)

Keempat, Madilog mensintesakan Marxisme dalam konteks ke-Indonesiaan, dengan melacak akar-akar kebangsaan dan kebudayaan masyarakat untuk kemudian diselaraskan dengan keyakinan politiknya, yaitu Murbaisme. Hal ini membuktikan Tan Malaka sebagai seorang revisionis, Tan Malaka menyatakan bahwa Murbaisme adalah revisi dari Marxisme yang bercorak kebudayaan dan kemasyarakatan Indonesia. Maka tidak heran bila dalam arena komunisme dan revolusi Indonesia, posisi dan pemikiran Tan Malaka selalu dipenuhi suasana pergulatan. Dalam suasana pergulatan pemikiran demi mencapai sebuah sinthesa cara berpikir berlandaskan akar-akar pembentuk kebangsaan dan kebudayaan, dan itu juga bisa berarti memasuki wilayah ontologi kehidupan, dimana seseorang yang terlibat di dalamnya lebih bersikap anti dogma/status quo. Tan Malaka adalah sosok orang yang amat menghargai kebebasan berpikir yang tak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatisme terhadap ideologi secara ketat. Orang seperti itu akan mampu melihat dan mampu mengemukakan apa yang dianggapnya baik (atau buruk) di mana pun letaknya. Dalam hal ini pandangan Tan Malaka tentang Barat merupakan contoh terbaik dari kebebasan berpikirnya. Sungguhpun secara politik dan ekonomis menentang kapitalisme dan imperialisme Barat, namun masih bisa melihat segi-segi yang positif dari sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. “Akuilah dengan putih bersih”, tulisnya, “bahwa kamu (orang Indonesia) sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru Barat, melainkan seorang murid dari timur yang cerdas….juga jangan dilupakan, bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia, bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri….Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka dengan memakai senjata Barat yang rasionil.”(Alfian, 1992:164). Kebebasan berpikir bagi Tan Malaka diartikan sebagai totalitas pemahaman akan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki untuk mencari solusi atas permasalahan bangunan mental bangsa terjajah dalam menjawab rasionalitas berpikir seperti apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, yang mendasarkan dirinya pada perubahan identitas budaya berpikir baru menuju masyarakat yang materialis, dialektis dan logis. Bagi kaum komunis Indonesia pemikiran Tan Malaka akan revolusi Indonesia seperti mempersonifikasikan seorang Trotkys Timur yang tetap memegang syariat agama Islam, adat dan falsafah Minangkabau (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah). Segala pengalaman rantau barat yang diserap Tan Malaka sama sekali tidak menghilangkan akumulasi identitas budaya Minangkabau dalam dirinya. Justru hal ini semakin menguatkan kapasitas kualitas pemikirannya yang semakin ter-upgrade. Tan Malaka tak pernah melepaskan budaya alam Minangkabau untuk memasuki budaya barat. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme barat maupun dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang tak terpisahkan. Oleh karena itu dalam pandangan ini, tanah kelahiran Minangkabau (alam) dan dunia luarnya (rantau) terkondisikan secara bersama-sama. Alam merupakan pusat, jantung, sementara keberadaan rantau adalah untuk memperkaya alam (Mrazek, 1999:6). Sebagai warisan hasil perantauannya, Madilog menyampaikan sebuah pesan alam dialektika berpikir untuk menjelaskan persoalan materialisme dunia dalam frame logic thinking. Madilog adalah Sebuah presentasi ilmiah berupa kekayaan alam pemikiran.

Kesimpulan

Madilog merupakan sinthesa perantauan yang mencerminkan kristalisasi pokok-pokok kapasitas kualitas personal Tan Malaka dalam kedudukannya sebagai seorang intelektualitas produk barat berlatar belakang budaya Minangkabau. Hal ini terjabarkan dalam urgency point pemikiran Tan Malaka demi membumikan Madilog dalam ranah Indonesia. Pertama, Madilog lahir melalui sinthesa pertentangan pemikiran antara dua kubu aliran filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektika (thesis, antithesis dan sinthesis) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang, terus menerus, berubah tetapi berhubungan satu sama lain. Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, pemikiran (ide) lebih penting dari matter (benda). Bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok untuk diterapkan dalam ranah matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter bagi Marx-Engels lebih penting dari idea. Dari kedua dikotomi filsafat Hegel dan Marx-Engels, Tan Malaka mencoba mensinthesakan kedua pertentangan aliran filsafat ini untuk merubah cara berpikir dan mental budak/pasif menuju kelas sosial baru yang berlandaskan science, suatu kelas sosial baru dalam struktur sosial masyarakat Indonesia yang bebas dari pengaruh mental budak dan mistis atau tahayul. Hal ini berarti mindset masyarakat Indonesia harus dibekali dengan berbagai macam perkakas science untuk menyelesaikan setiap ragam permasalahan matter, oleh karena itu pakailah logika ilmiah yang selalu mengedepankan eksplorasi kreatifitas berpikir dan bertindak selama logika science masih tertangkap oleh kemampuan inderawi manusia Indonesia. Selalu dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog. Proses ini berarti juga merupakan suatu kegiatan merantau secara pemikiran, karena di dalam kelas sosial, masyarakat Madilog ini selalu setiap saat menemukan benturan-benturan ide, karena kekuatan ide harus terus menerus berkembang melalui kombinasi irama pertentangan dan penyesuaian sampai absolute idea dalam persoalan matter terungkap, dan berikut tetap diuji dan dikaji terus sampai batas sedalam-dalamnya. Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting konsep rantau dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru yang ditemukan di daerah rantau yang nantinya bisa dikembangkan untuk memperkaya nilai-nilai yang dianut oleh alam asal si perantau. Tuntutan hakiki merantau adalah untuk selalu meng-upgrade wawasan akan pengetahuan apa saja yang nantinya bisa disumbangkan demi kemajuan alam asal si perantau. Karakter masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan anti parokhial. Dalam konteks ini, sosok Tan Malaka adalah gambaran yang tepat untuk mempersonifikasikan identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Selalu ada konflik batin untuk mensinthesakan berbagai macam pengalaman baru dan berharga demi kebaikan perkembangan kehidupan si perantau. Cara berpikir barat yang rasional didukung basic pendidikan guru mengharuskan dirinya untuk menanamkan cara berpikir yang logis dengan perkakas science kepada setiap muridnya adalah pusaka barat yang diambil Tan Malaka, yang berarti menuntunnya untuk ber-dialectica-thinking dalam menjawab setiap permasalahan matter dalam scope science logic. Merantau dalam pemikiran identitas budaya Minangkabau juga selalu berusaha mencari keselarasan kehidupan yang absolut. Keselarasan yang tersusun dari dinamika pertentangan dan penyesuaian, yang berkembang hidup dalam ranah idea maupun matter. Segala pengalaman rantau barat yang diserap Tan Malaka sama sekali tidak menghilangkan akumulasi identitas budaya Minangkabau yang terkumpul dalam dirinya. Tan Malaka tak pernah melepaskan budaya alam Minangkabau untuk memasuki budaya barat.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.

Amir MS, “Adat Minangkabau : Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang”, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2006.

Budiardjo, Miriam, “Dasar-Dasar Ilmu Politik” , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.

Kurniawan kasim, Yandri, “Warisan Tan Malaka”, Kompas, 29-03-2008.

Noer, Deliar, “Pemikiran Politik di Negeri Barat”, Mizan, Bandung, 2001.

Malaka, Tan, “Madilog” , Teplok Press, 2000.

Magnis-Suseno, Frantz, “Dalam Bayangan Lenin” , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

___________________, “Madilog-nya Tan Malaka”, Kompas, 27-11-2000.

Mrazeck, Rudolf, “Tan Malaka : A Political Personality’s Structure Of Experience”, BIGRAF Publishing, Yogyakarta, 1999.

Poeze, Harry A., “Tan Malaka : Pergulatan Menuju Republik 1897-1925”, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000.

Prabowo, Harry, “Perspektif Marxisme-Tan Malaka: Teori dan Praksis Menuju Republik”, Jendela, Yogyakarta, 2002.

Surbakti, Ramlan, “Memahami Ilmu Politik”, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992.






The Future of Love

7 12 2008


st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Papyrus; panose-1:3 7 5 2 6 5 2 3 2 5; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:script; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:3 0 0 0 1 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

My Part of Life :

Kata-kata ini aku tulis sebulan menjelang kepulanganku ke Indonesia, sebulan sebelum krismon 98 dan sebulan sebelum aku menyesal kenapa harus memutuskan pulang ke Indonesia (sampai sekarang aku menyebutnya sebagai nasionalisme konyol). Seandainya satu dari sekian banyak tawaran beasiswa ini kuambil, setidaknya aku g’pernah mengalami pengalaman pahit seperti yg kamu alami. But aku gak pernah menyesal semua ini terjadi. Justru ada hikmahnya jika suatu saat if I’m fall in love lagi, pasti kualitas hubungannya nanti akan jauh lebih matang, dewasa dan bijaksana. Dan sekarang kesempatan itu ada meskipun jalannya lebih sulit dan berat dari yg kuduga. I love U with all of my affection and devotion, just dedicated on U. No one else, but U……

Pennsylvania, April 1998, the end of spring session, 16.00 PM :

Kebenaranmu akan bertemu kebenaranku dalam alam tanpa tepi yang menjelang lalu berpadu meramu diri bagaikan semerbak harum bunga, dimana setelah itu menjadi kebenaran tunggal dan abadi dalam kehidupan cinta kasih dan keindahan. Kekasihku, aku muncul dari hati lautan dan membubung tinggi bersama angin. ketika aku melihat sebuah ladang, maka aku turun dan merengkuh bunga dan pepohonan dengan satu juta cara untuk menyentuh bibirmu dengan jari lembutku. Wahai takdirku, Sepasang kekasih adalah bersatunya dua jiwa dalam cinta yang kuat demi tiadanya perpisahan. Bersatunya dua keagungan sehingga yang ketiga bisa dilahirkan ke dunia.